"Entahlah. Saya tidak ingat lagi nama kampungnya. Pemilik rumah ngomongnya Bahasa Melayu Malaysia. Disana kami nginap lagi dua minggu, sebelum akhirnya diantar ke Kajang. Naik truk penuh sesak. Â
"Syukur kami selamat sampai ke alamat. Tak jarang setelah membayar pada tekong, terjaring razia. Terus dipulangkan ke kampung halaman. Kalau tak mau kepalang basah, jalan satu-satunya berunding dengan petugas.
"Zaman saya dulu, kalau ditangkap aparat dalam negeri insyaallah bisa berdamai. Tergantung  pintar tidaknya tekong  melobi. Tapi jika sampai di tangan polis Malaysia, jangan harap bisa lepas."  Nenek bertubuh tambun itu menutup kisahnya.
Kini kehidupan Ibu Nurlela seratus persen lebih baik dari sebelumnya. Empat anaknya menetap di Malaysia dan menikah dengan orang Melayu. Tiga lainnya tinggal di Indonesia.
Nasib mujur berpihak pada penyelundup  sebelum tahun sembilan puluh berakhir. Waktu itu, imigran yang tadinya pendatang haram, sampai di Malaysia statusnya bisa dilegalkan menjadi pengunjung resmi. Berlanjut ke penduduk tetap dan warga negara Malaysia. Ada yang memperolehnya melalui program pengampunan (pemutihan) ada juga pengurusannya secara individu.
Selepas itu peraturan keimigrasian Malaysia mulai agak  ketat. Tiada lagi ruang bagi pendatang tanpa dokumen untuk bekerja di sana. Walaupun masih banyak juga yang berani  nekad.
Para pejuang kehidupan itu tak kehabisan akal. Masuk menggunakan pasport melancong. Sampai di sana mereka bekerja.
Kapan tertangkap dan dideportasi,  KTP ganda solusinya.  Kemudian pergi lagi dengan dokumen  identitas baru. Waktu itu data diri bisa dimanipulasi. Wajah lama namanya baru. Rukayah jadi Soimah. Romlah jadi Khodijah, dan seterusnya.  Â
Di Era digital ini, tiada satupun yang lolos masuk ke Malaysia tanpa melewati jalur resmi. Nama bisa digonta ganti. Sidik jari tak bisa dipreteli.
Demikian sekilas gambaran, betapa pedihnya penderitaan yang dialami oleh Para TKI ilegal pada zamannya, demi meraih lembaran ringgit. Semoga bermanfaat. Salam Dari Pinggir Danau Kerinci.Â
****