Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Perjuangan Menembus Negeri Jiran

2 November 2019   22:28 Diperbarui: 3 November 2019   07:01 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumer ilustrasi: m.jpnn.com

"Entahlah. Saya tidak ingat lagi nama kampungnya. Pemilik rumah ngomongnya Bahasa Melayu Malaysia. Disana kami nginap lagi dua minggu, sebelum akhirnya diantar ke Kajang. Naik truk penuh sesak.  

"Syukur kami selamat sampai ke alamat. Tak jarang setelah membayar pada tekong, terjaring razia. Terus dipulangkan ke kampung halaman. Kalau tak mau kepalang basah, jalan satu-satunya berunding dengan petugas.

"Zaman saya dulu, kalau ditangkap aparat dalam negeri insyaallah bisa berdamai. Tergantung  pintar tidaknya tekong  melobi. Tapi jika sampai di tangan polis Malaysia, jangan harap bisa lepas."  Nenek bertubuh tambun itu menutup kisahnya.

Kini kehidupan Ibu Nurlela seratus persen lebih baik dari sebelumnya. Empat anaknya menetap di Malaysia dan menikah dengan orang Melayu. Tiga lainnya tinggal di Indonesia.

Nasib mujur berpihak pada penyelundup  sebelum tahun sembilan puluh berakhir.  Waktu itu, imigran yang tadinya pendatang haram, sampai di Malaysia statusnya bisa dilegalkan menjadi pengunjung resmi. Berlanjut ke penduduk tetap dan warga negara Malaysia. Ada yang memperolehnya melalui program pengampunan (pemutihan) ada juga pengurusannya secara individu.

Selepas itu peraturan keimigrasian Malaysia mulai agak  ketat. Tiada lagi ruang bagi pendatang tanpa dokumen untuk bekerja di sana. Walaupun masih banyak juga yang berani  nekad.

Para pejuang kehidupan itu tak kehabisan akal. Masuk menggunakan pasport melancong. Sampai di sana mereka bekerja.

Kapan tertangkap dan dideportasi,  KTP ganda solusinya.  Kemudian pergi lagi dengan dokumen  identitas baru. Waktu itu data diri bisa dimanipulasi. Wajah lama namanya baru. Rukayah jadi Soimah. Romlah jadi Khodijah, dan seterusnya.   

Di Era digital ini, tiada satupun yang lolos masuk ke Malaysia tanpa melewati jalur resmi. Nama bisa digonta ganti. Sidik jari tak bisa dipreteli.

Demikian sekilas gambaran, betapa pedihnya penderitaan yang dialami oleh Para TKI ilegal pada zamannya, demi meraih lembaran ringgit. Semoga bermanfaat. Salam Dari Pinggir Danau Kerinci. 

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun