Bagi yang merasa dirinya orang melayu atau orang Indonesia umumnya, pasti kenal dengan "Kopi Daun". Yakni, daun kawa (kopi) diolah menjadi serbuk, dijadikan minuman segar.
Masyarakat Kerinci meyebutnya "kawo sbuk kupi daun", atau "kawo daun". Jika dibahasaindonesiakan = kawa serbuk daun kopi, atau kopi daun. Mungkin masih ada istilah lain. Sebab Bahasa Kerinci punya kekhasan tersendiri. Beda desa, lain bahasa.
Menurut cerita orang tua-tua, sejak dahulu Indonesia dikenal sebagai negara penghasil kopi. Tetapi, kaum penjajah hanya membolehkan pribumi minum daunnya.Â
Sementara biji kopi mereka kirim ke negara Belanda. Maka terciptalah istilah, "Melayu Kupi Daun". Orang Belanda minum kopi, orang Melayu minum daunnya.
Versi lain menyebutkan, dahulu nenek moyang orang Melayu minum daun kawo, karena mereka belum mengenal teh. Namun, saya belum menemukan bukti sejarah yang mengukuhkan kedua pernyataan tersebut.
Sebab, daun kawa mengandung senyawa yang bermanfaat mengurangi risiko penyakit jantung dan diabetes seperti Antioksidan, (coffeeland.co.id). Tidak heran, minuman ini tetap eksis di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat Melayu Kerinci.
Di daerah saya, setidaknya ada 4 desa yang masih kental dengan tradisi minum kawo sbuk kupi daun.
Uniknya, warga setempat menikmatinya dengan cara tak biasa. Mereka bergabung dalam komunitas khusus. Anggotanya antara 20-40 orang. Bahkan bisa lebih. Usianya antara 4 puluh dan 7 puluhan.
Setiap pagi, para personelnya berkumpul di sebuah rumah yang menyediakan layanan minum kawo. Kegiatan dimulai pukul 07 sampai 08 pagi. Yang datang dan pergi tidak sekaligus.
Sebelum tamu hadir, tuan rumah terlebih dahulu menyiapkan peralatan yang diperlukan. Mulai wadah berisi air kopi daun, sampai cangkir kosong tempat minum.Â
Uniknya, Kegiatan digelar di ruang dapur. Cangkirnya terbuat dari sayak tempurung kelapa. Sebelum dituangkan ke sayak, kopi daun terlebih dahulu diseduh pakai air panas mendidih, menggunakan wadah tabung bambu yang tingginya kira-kira 30 cm. Kemudian ditutup menggunakan ijuk enau.
Ketika minuman dituangkan ke sayak, yang keluar hanya air kawo berwarna kecoklatan. Ampasnya tersaring oleh ijuk.
Rupanya, seiring perkembangan zaman, tampilan penyajiannya telah berubah. Dari sebelumnya menggunakan tabung bambu dan sayak, berganti dengan cerek biasa dan cangkir plastik. Gelar acaranya pun bergeser ke ruang tamu.
Ketika ditanya khasiat minum kopi daun ini apa. Salah satu anggota menjawab, "Nyandu, Bu. Sehari tak minum, kepala pusing tak karuan, ngantuk-ngantuk, badan terasa berat."
Supaya keasliannya tetap terjaga, minuman ini dikonsumi tanpa gula. Kalau mau yang manis enaknya pakai gula aren.
"Nominalnya tidak seberapa, Bu. Yang penting kebersamaan dan ukhuwah Islamiah tetap terjalin," ujar Pak Abu Zar, salah seorang anggota komunitas yang mereka beri nama "Penikmat Kupi Daun Pondok Indah".
Mulai menyiapkan tempat, daun kopi sebagai bahan baku, mengolahnya hingga siap seduh, kayu bakar untuk pengeringan dan memasak air panas, cerek, cangkir, sampai ke penyajiannya dan siap minum. Belum lagi mencuci peralatan usai kegiatan.
Bukan setahun dua tahun. Ada yang turun temurun. Setelah nenek atau kakeknya meninggal, amal bakti tersebut diteruskan oleh anak cucunya.
Proses Pembuatan Kawo Sbuk Kupi Daun
Ada dua versi dalam pengolahan daun kopi sampai menjadi minuman segar. Pertama, daun kopi yang tua dikeringkan dengan cara didiang di atas para. Jarak para dan api tungku disesuaikan dengan kebutuhan (tingginya kurang lebih 150-200 cm).
Beberapa hari kemudian daun kopi itu kering. Selanjutnya didiang ulang di atas bara kayu bakar, dengan jarak api dan material kira-kira 30 cm. Setelah garing, diremas hingga mengasilkan bubuk halus seperti teh. Kawo daun siap diseduh.
Versi ke dua, sama seperti kiat ke-1. Bedanya, sebelum pendiangan terakhir, daun kopi dijemur pada terik matahari sampai kering.
Keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Versi 1, Pengerjaannya relatif mudah. Setelah ditaruh di lantai para, sambil memasak dia kering sendiri. Tetapi masa pengeringannya agak lama.
Sedangkan versi 2, cukup dijemur satu hari dari pagi sampai sore. Daun kopi siap didiang sampai garing. Konon rasanya kurang gurih karena tak ada aroma asapnya. Gaweannya pun sedikit ribet. Kalau hujan mendadak turun, diangkat dan besoknya dijemur lagi.
Bagaimana, heboh bukan? Tertarik? Kutunggu kalian di Pinggir Danau Kerinci.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H