"Mudah, kok Bu," kata Cik Khalida, salah seorang keluarga tuan rumah. "Selembar kain dilipat 8 dalam posisi memanjang. Pertama dilipat 2. Terus lipat 2 lagi jadi 4 bagian. Terakhir lipat 2 lagi, hasilnya 8 lapis," Jelasnya sambil menakup-nakup telapak tangannya.
Masih menurut Cik Khalida, "Supaya hasilnya bagus, melipat kainnya harus rapi. Ukuran lapisan satu dengan liannya dibuat sama. Kemudian ditata pada sebuah reng kayu atau bambu lurus, yang sebelumnya dipasang membentang di sepanjang dinding yang akan dihias. Selanjutnya siap dianyam."Â
Cik Khalida menjawab, "Tidak, Bu. Sebelum bapnteh (menggelar pnteh), dikasih tau sanak keluarga. Dengan kesadaran sendiri mereka mengantarkan kain panjang miliknya masing-masing. Kemudian mereka pula yang masangnya sampai selesai. Giliran mereka, kita yang membantu dan ngasih pinjam."
"Jadi, setiap rumah tangga wajib punya kain panjang tentunya?"
"Tergantung. Keluarga berada minimal 30 lembar."
Saya salut. Di tengah derasnya gelombang modernisasi saat ini, warga setempat masih mengagungkan tradisi lama, yang diwariskan para leluhurnya secara turun-temurun.
Bukan berarti masyarakatnya anti terhadap kemajuan zaman. Dekorasi modern dengan pelaminan model terkini tetap eksis. Tetapi ditempatkan di ruang lain (dalam tenda di halaman). Di mana, pada hari H-nya, pengantin bersanding dan menyalami tamu.Â
Di ruang ini pula ritual akad nikah berlangsung. Berlanjut dengan pembacaan doa dan makan bersama. Masyarakat Kerinci menyebutnya kenduri adat pernikahan.
Sekaya dan seintelek apapun orangtua pengantin, tradisi bapnteh tak boleh ditinggalkan. Bukan berhelat namanya tanpa dilengkapi pnteh.Â