Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Pnteh", Ornamen Klasik Masyarakat Hiang di Tengah Gelombang Modernisasi

11 September 2019   06:10 Diperbarui: 14 September 2019   09:13 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagian dinding yang sudah dipasang pnteh. | Dokumentasi pribadi

Mendekor ruangan adalah salah satu persiapan penting untuk suksesnya sebuah acara pernikahan. Tradisi ini berlaku dari dahulu hingga sekarang, dari desa sampai ke kota.

Era 60-an, kegiatan ini dikerjakan oleh sanak keluarga dan para tetangga. Perangkat yang digunakan pun seadanya. Dinding-dinding rumah bagian dalam dibalut pakai kain panjang. Langit-langitnya ditutup menggunakan tabir, yaitu lembaran kain terbuat dari sambungan perca beraneka warna.

Zaman saya, dalam satu kampung hanya satu yang punya tabir. Siapapun yang minjam, dikasih gratis.

Pelaminan jarang terlihat. Walaupun ada, konsepnya amat sederhana dan dinikmati oleh golongan tertentu saja.

Kini zaman telah modern. Gaya hidup masyarakat pun berubah drastis. Mau nikahan? Pernak-pernik pesta tinggal order. Tunggu di alamat, siap pasang dan siap pakai. Mulai gedung, pelaminan, baju pengantin yang dikenakan pada hari "H"-nya, baju akad nikah, juru rias, sampai ke musik dan peralatan konsumsi.

Banyak duit? Pilih yang bagus kualitas super. Anggaran sedikit? Solusinya ngirit. Pesan yang murah, tapi tak murahan. Di tempat saya malah boleh nyewa sebagian (tidak satu set penuh). Bisa diselaraskan dengan isi kantong. Saya yakin, hal serupa berlaku di seluruh tanah air.

Namun tiga hari lalu, ketika menghadiri acara akad nikah di sebuah desa, saya dihadapkan pada pemandangan tak lazim. Dinding ruangannya hias apik dengan ornamen klasik.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Masyarakat setempat menyebutnya "pnteh". Yaitu, dekorasi kreatif bernuansa tradisional yang dianyam dari kain panjang batik beraneka motif. Belum saya peroleh penjelasan, apa sebenarnya makna kata penteh. Setiap ditanya, mereka yang di sana menjawab, "Penteh ya, penteh." Ya, sudah.

Dekoran begini hanya dapat dijumpai di Desa Hiang, Sitinjau Laut, Kabupaten Kerinci, Jambi.

Tak terkira banyaknya jumlah kain panjang yang dibutuhkan. Terlebih ruangan yang saya masuki kemarin nyaris segede musala.

Sepintas terlihat agak rumit. Untuk menjalinnya pasti butuh tangan-tangan terampil.

"Mudah, kok Bu," kata Cik Khalida, salah seorang keluarga tuan rumah. "Selembar kain dilipat 8 dalam posisi memanjang. Pertama dilipat 2. Terus lipat 2 lagi jadi 4 bagian. Terakhir lipat 2 lagi, hasilnya 8 lapis," Jelasnya sambil menakup-nakup telapak tangannya.

Masih menurut Cik Khalida, "Supaya hasilnya bagus, melipat kainnya harus rapi. Ukuran lapisan satu dengan liannya dibuat sama. Kemudian ditata pada sebuah reng kayu atau bambu lurus, yang sebelumnya dipasang membentang di sepanjang dinding yang akan dihias. Selanjutnya siap dianyam." 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Saya tanyakan, "Apakah kain panjang ini milik tuan rumah semua atau sewaan?"

Cik Khalida menjawab, "Tidak, Bu. Sebelum bapnteh (menggelar pnteh), dikasih tau sanak keluarga. Dengan kesadaran sendiri mereka mengantarkan kain panjang miliknya masing-masing. Kemudian mereka pula yang masangnya sampai selesai. Giliran mereka, kita yang membantu dan ngasih pinjam."

"Jadi, setiap rumah tangga wajib punya kain panjang tentunya?"

"Tergantung. Keluarga berada minimal 30 lembar."

Saya salut. Di tengah derasnya gelombang modernisasi saat ini, warga setempat masih mengagungkan tradisi lama, yang diwariskan para leluhurnya secara turun-temurun.

Bukan berarti masyarakatnya anti terhadap kemajuan zaman. Dekorasi modern dengan pelaminan model terkini tetap eksis. Tetapi ditempatkan di ruang lain (dalam tenda di halaman). Di mana, pada hari H-nya, pengantin bersanding dan menyalami tamu. 

Suasana di dalam tenda dan pelaminannya beberapa saat acara akan berakhir., yang digelar di halaman. | Dokumentasi pribadi
Suasana di dalam tenda dan pelaminannya beberapa saat acara akan berakhir., yang digelar di halaman. | Dokumentasi pribadi
Sementara pnteh disediakan untuk menyambut undangan khusus kaum adat. Tamu-tamunya terdiri dari perangkat adat, perangkat desa, pegawai masjid, dan cerdik pandai dalam negeri.

Di ruang ini pula ritual akad nikah berlangsung. Berlanjut dengan pembacaan doa dan makan bersama. Masyarakat Kerinci menyebutnya kenduri adat pernikahan.

Sekaya dan seintelek apapun orangtua pengantin, tradisi bapnteh tak boleh ditinggalkan. Bukan berhelat namanya tanpa dilengkapi pnteh. 

Demikian sekilas tradisi masyarakat Hiang dalam menyambut pesta  pernikahan, dengan konsep dekorasi klasik dan modern. Salam dari Pinggir Danau Kerinci.

****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun