Kata Emak, dahulu Bapakku saudagar emas sukses. Usahanya bangkrut setelah ditipu rekan dagangnya.
Waktu itu aku belum lahir. Yang aku tahu, Bapak seorang petani. Beliau bertempramen tinggi. Â Sedikit saja anak-anaknya berbuat kesalahan, hadiahnya dicambuk pakai ikat pinggang kulit. Tak peduli apakah anak perempuan atau laki-laki semua diperlakukannya sama. Satu minggu tidak ribut sekali, itu adalah momen terindah buat keluarga kami.
Kapan Bapak memarahi kami, tiada makhluk yang berani menegornya. Emak pun tak bisa berbuat apa-apa. Selain menangis tanpa bersuara dan mengungsi masuk kamar.
Palingan pasca dipukul,  malam ketika kami terlelap,  Emak membelai bagian tubuh kami yang lebam  sambil meratap dalam gumam, "Makanya jangan nakal. Emak tak tega melihat kalian  disiksa." Air mata Emak jatuh berderai. Itupun beliau lakukan ketika Bapak sedang tiada di rumah.
Bapak juga berlaku kasar kepada Emak. Di hadapan kami anak-anaknya  dia  sering memukul Emak sampai berguling-guling  kesakitan. Emak tahu persis, kalau sudah begitu  jangan coba-coba menghindar utuk menyelamatkan diri, kalau tak mau dibantingnya sampai pingsan.Â
Tak heran, setelah lulus SD atau SMP, satu persatu kakak laki-lakiku pergi entah ke mana dan tak pernah kembali lagi. Kakak-kakak  perempuanku hengkang setelah menikah. Kini yang tersisa hanya aku, Emak dan Bapak.
Mungkin orang kampungku enggan menjadi menantu Bapak. Sehingga  5 kakak perempuanku, dapat jodoh  inpor dari luar daerah. Setelah akad nikah mereka diboyong  ke rumah mertuanya. Ada juga yang ngontrak di daerah lain. Rupanya Allah menyelamatkan mereka dengan caraNya sendiri.Â
Emakku perempuan kuat. Mampu bertahan sampai puluhan tahun. Ini bukan perjuangan yang mudah.
"Kenapa Emak menikah sama Bapak?" tanyaku.
"Dijodohi almarhum kakekmu," Â jawab Emak.
"Emak Mau?"
"Karena Emak juga cinta. Dulu Bapakmu  ganteng, jadi rebutan para orangtua untuk dijadikan menantu." Jawab Emak. "Waktu itu Emak berusia 15 tahun.  Kami juga terkait  hubungan keluarga. Kakekmu bilang, 'Rugi kalau dia kawin dengan gadis lain. Harta warisan dibawanya  ke rumah orang.' "
"Sekarang kisahnya lain, Mak. Emak sering dipukul. Tengoklah  Bapak-bapak tetangga! Tiada seorang pun yang menggebuk anak dan isteri."
"Nasib manusia beda-beda, Nak. Lagi pula pertengkaran suami isteri itu bumbu berumah tangga."
Aku diam dan tak mau bertanya lagi. Agak jengkel juga. Habis mau bagaimana lagi.Â
Seperti biasanya, usai berantem malam-malam mereka damai kembali. Seakan tak pernah terjadi apa-apa. Sebelum tidur, ranjang besi karatan di kamar mencicit-cicit, meneriaki Emak dan Bapak sedang bercinta.
Setiap pagi Emak rajin membuati kopi dan menyiapkan telor setengah matang untuk  Bapak.
Uniknya, meskipun tubuhnya kurus, Emak dianugerahi kesuburan yang luar biasa. Rata-rata jarak kelahiran kami antara 18-20 bulan.
Kakak kakakku bercerita, bahwa ketika Emak melahirkan aku, mereka kaget. Fasalnya, sebelumnya mereka tidak mengetahui bahwa Emak sedang hamil.
"Lima bulan sebelum bersalin Emak sakit sepanjang hari dan banyak berbaring di tempat tidur," ujar kakak perempuanku yang nomor empat. "Rasanya tidak mungkin lagi beliau melahir. Mengingat usianya sudah 40 lebih, anaknya sudah 11."
Semasa medaftarkan aku ke SD 16 tahun yang lalu, Bapak sempat bingung menjawab pertanyaan Bu Guru. Kalau aku ini anak nomor berapa dan jumlah saudaraku berapa.
Dengan menggunakan jemarinya, Bapak menghitung nama kami satu-satu. Semua yang ada di kantor sana tertawa ngakak.
Di usiaku yang ke 23 ini, aku belum menentukan sikap. Mau menikah belum ada cewek yang mau. Hendak merantau, Emak sudah mulai sakit-sakitan. Takut diapa-apakan sama Bapak. Sementara kakak-kakakku, semenjak berangkat belum ada yang tergerak pulang.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H