"Karena Emak juga cinta. Dulu Bapakmu  ganteng, jadi rebutan para orangtua untuk dijadikan menantu." Jawab Emak. "Waktu itu Emak berusia 15 tahun.  Kami juga terkait  hubungan keluarga. Kakekmu bilang, 'Rugi kalau dia kawin dengan gadis lain. Harta warisan dibawanya  ke rumah orang.' "
"Sekarang kisahnya lain, Mak. Emak sering dipukul. Tengoklah  Bapak-bapak tetangga! Tiada seorang pun yang menggebuk anak dan isteri."
"Nasib manusia beda-beda, Nak. Lagi pula pertengkaran suami isteri itu bumbu berumah tangga."
Aku diam dan tak mau bertanya lagi. Agak jengkel juga. Habis mau bagaimana lagi.Â
Seperti biasanya, usai berantem malam-malam mereka damai kembali. Seakan tak pernah terjadi apa-apa. Sebelum tidur, ranjang besi karatan di kamar mencicit-cicit, meneriaki Emak dan Bapak sedang bercinta.
Setiap pagi Emak rajin membuati kopi dan menyiapkan telor setengah matang untuk  Bapak.
Uniknya, meskipun tubuhnya kurus, Emak dianugerahi kesuburan yang luar biasa. Rata-rata jarak kelahiran kami antara 18-20 bulan.
Kakak kakakku bercerita, bahwa ketika Emak melahirkan aku, mereka kaget. Fasalnya, sebelumnya mereka tidak mengetahui bahwa Emak sedang hamil.
"Lima bulan sebelum bersalin Emak sakit sepanjang hari dan banyak berbaring di tempat tidur," ujar kakak perempuanku yang nomor empat. "Rasanya tidak mungkin lagi beliau melahir. Mengingat usianya sudah 40 lebih, anaknya sudah 11."
Semasa medaftarkan aku ke SD 16 tahun yang lalu, Bapak sempat bingung menjawab pertanyaan Bu Guru. Kalau aku ini anak nomor berapa dan jumlah saudaraku berapa.
Dengan menggunakan jemarinya, Bapak menghitung nama kami satu-satu. Semua yang ada di kantor sana tertawa ngakak.