Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dua Hal Sepele yang Berpotensi Merusak Mental Anak dan Upaya Pencegahannya

18 Juni 2019   22:15 Diperbarui: 19 Juni 2019   14:34 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Si Dedek kecil mandi di Danau Kerinci ditemani ayahandanya tercinta (kiri atas dan kanan bawah). Dokumen pribadi

Hangatnya kebersamaan dengan putra-putri  yang pulang dari rantau, bukan hanya sekadar melepas rindu dan makan bareng. Terlebih dari itu, bernostalgia tentang masa lampau, mengenang kembali perjuangan dalam mendidik dan membesarkan mereka  yang  penuh suka dan duka.

Kini mereka telah menjadi "Mama" dan "Papa", Tingkah lucu dan konyol mereka semasa kecil tetap memumi  di benak saya.

Lucu? Iya.

Menyebalkan? Iya.

Dimarahi? Pasti.

Tapi saya kangen itu semua dan tetap indah bila dikenang. Andai waktu bisa diputar, saya ingin kembali ke masa-masa itu.

Masih segar dalam ingatan, semasa anak lanang saya berusia tiga tahun, dia takut kepada burung elang. Saking takutnya, setiap elang  berbunyi mukanya pucat bibirnya biru, dadanya menabuh tak karuan.

Pasalnya, di  kepala bocah yang biasa dipanggil Dedek itu pernah ditemukan kutu.  Meski  tidak banyak, namun cukup mengganggu.  Tetapi dia menolak untuk dicari/dibuang. Zaman itu saya nyambi sebagai hairdresser. Kadang-kadang kutu pasien pindah ke baju saya terus menjalar ke kepala Dedek.

Oleh saudara  perempuan saya dibuatlah suatu cerita, bahwa burung elang itu suka pada anak kecil  yang banyak kutu. Dibawanya terbang ke pohon beringin yang tinggi dan tak bisa kembali lagi. 

Efeknya, setiap unggas buas itu berbunyi  si Dedek lari terbirit-birit,  masuk rumah sambil menangis minta dicarikan kutu. Peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang. 

Mirisnya, ketika dia minta perlindungan,  sang pengarang cerita dan orang sekitarnya  tertawa terkekeh-kekeh. Malah ikut menakut-nakuti dan pura-pura cuek.

Karena keseringan, saya khawatir putra saya ini jantungan. Saya dan ayahnya berusaha meluruskan, bahwa cerita tersebut adalah bohong.  Butuh waktu lama juga untuk meyakinkannya.

Kisah lain tak kalah menggemaskan, suatu sore menjelang Maghrib, Dedek pulang  dari bermain. "Bu, Minta sabun. Dek belum mandi," katanya.

Saya curiga. Katanya belum mandi. Tetapi matanya merah, kulit dan rambutnya kering. Hati saya berbisik, "Ini anak pasti habis berkubang di sawah."  Ditanya tidak ngaku. Merasa dibohongi, saya marah dan mencubit dia sampai menangis.

Rupanya dia  dan teman-temannya sering mandi dan lompat-lompatan di sungai. Sampai sekarang saya sendiri tidak tahu lokasinya di mana.  Acap kali juga mereka mandi berenang di danau.

Waduh, pikiran negatif mengusik ketenangan saya. Saya stress  sampai susah tidur.  Andaikan begitu dia melompat dari ketinggian tertentu, sementara di dasar sungai terpancang benda tajam, apa kira-kiranya  yang terjadi. (Tahun 1962, insiden ini pernah terjadidi depan saya. Lama saya trauma). Atau begitu terjun, lalu tenggelam  terus terjepit di sela ranting dan tak kuasa bangun kembali.  Waduh ..., mengerikan sekali.

Mandi di danau pun risikonya super dahsyat. Tidak sekali dua Danau Kerinci ini merenggut nyawa manusia. Mangsanya orang yang tidak biasa alias pendatang.  Ketika berenang   kaki korban terbelit lumut daun (dichodontium),  yang panjangnya susah diprediksi. Akhirnya lemas dan tenggelam.

Apabila dilarang dia nunut. Kepalanya mengangguk sampai ke dengkul. Di belakang saya dia tetap eksis. "Anjing menggonggong kafilah berlalu".

Namanya anak kampung usia kelas 3-4 SD. Suka hal yang menantang. Main di semak-semak, memanjat pohon, menangkap ikan di sawah sampai berkubang seperti kerbau. Saya kewalahan dan bosan menegurnya.

Dari dua pengalaman di atas, barangkali dapat diambil pelajaran.

Kisah pertama,  sangat tidak elok jika  anak balita disuguhi cerita ngaur yang tidak mendidik. Sudah bohong menyeramkan pula. Selain menimbulkan rasa cemas yang berlebihan, jantungnya berdetak kencang.  Bukan tidak mungkin  efek jangka panjangnya anak-anak akan tumbuh menjadi penakut.

Terlepas dari itu semua, ternyata Dedek tumbuh menjadi  pemalu. Syukur, sejak mulai  kuliah sampai sekarang lincahnya malah kelewatan. Buktinya, setahun kuliah dia sudah berani nembak cewek, langsung dapat pacar, he he ....

Kisah ke dua, orangtua terlalu desiplin, tegang, banyak aturan dan larangan, artinya mendidik anak pintar berdusta.

Anak kecil punya dunia sendiri. Dia ingin melakukan sesuatu dengan bebas, berpantang untuk dikekang. Apabila keinginannya  mendapat hambatan dari orangtua, dia akan memilih cara berbohong. Minta izin main sama sobatnya Andi, ternyata  dia lompat-lompatan di dalam kali.

Terkait masalah ke dua, mungkin akan lebih bijak jika saya memberikan kebebasan pada si anak. Tetapi dengan batas-batas tertentu. Misalnya, jika kepingin mandi di sungai dan danau, ajaklah orangtua untuk menemani.

Tetapi saya percaya, bagi bocah SD yang tinggal di desa, sehangat-hangatnya ditemani ayah bundanya, tidak segila bermain dengan kawan sebaya.  Begini potret kami anak desa. Bagaimana dengan Anda anak kota? Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

****

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun