Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nasib Guru Era 70-an, Numpang Makan di Rumah Penduduk

4 Mei 2019   21:49 Diperbarui: 6 Mei 2019   14:10 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama usai acara perpisahan siswa kelas VI tahun 1978, di SD No 33/III Tanjung Tanah. Tampak siswa tanpa pakaian seragam, bahkan ada yang masih nyeker. Dokumen Pribadi.

Hari ini tanggal 4 Mei 2019. Genap 42 tahun saya menginjakkan kaki di desa Cupak, Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Dalam rangka menunaikan tugas mengajar di SD. No. 124/III.

Kala itu, dalam kondisi agak demam saya ditampung oleh salah satu keluarga penduduk setempat. Mereka memberikan saya nasi, buah jeruk, dan pil bodrex.

Sedihnya bukan kepalang. Jauh dari orangtua dan suami. Terdampar di pedesaan pinggir sawah. Dua belas kilometer dari ibu kota kabupaten, yang hanya dapat dijangkau berjalan kaki atau naik sepeda. Bila malam telah tiba, saya sering menangis dalam selimut.

Belum ada kendaraan roda empat ke ibu kota kabupaten. Kalaupun ada, berjalan kaki terlebih dahulu menuju lintasan Jambi-Sungai Penuh. Jaraknya satu setengah kilometer melewati belukar dan kebun karet. Di sana penumpang mencegat jeep treller lewat dari Bangko. Itu pun adanya cuma satu. Pagi-pagi pula sebelum pukul tujuh. Selepas itu, jangan harap ada mobil lain.

Syukur kalau sopirnya tidak menolak karena baknya lagi bisa disusupi. Jika kebetulan muatannya penuh, tiada pilihan selain bersabar menunggu esok datang lagi.

Seminggu kemudian saya baru sembuh. Hari ke sembilan terus melapor dan masuk ke sekolah yang dituju. Mulai hari itu saya punya kenalan baru. Mereka adalah Bapak dan Ibu Guru yang mengajar di sana. Tetapi berdomisili di desa lain.

Mereka sedang menunggu kehadiran Kepala Sekolah, yang katanya sudah 3 hari tidak masuk. Dia ke ibu kota kabupaten urusan pengambilan gaji.

Sepercik harapan menyeruak di hati. Salah satu senior saya itu mengatakan, guru baru seangkatan saya yang bertugas di kota, bulan ini langsung terima gaji sekalian rapelnya Maret-April 1977. "Banyak lho, Bu. Per bulannya Rp 14 ribuan, kali tiga. Zaman saya dulu, mula diangkat cuman 9 ribu," ujarnya.

Jumlah yang tidak sedikit menurut hayalan saya. Seumur hidup belum pernah megang uang belasan ribu. Kepala saya yang tadinya nyut-nyut langsung adem.

Kenangan indah bersama rekan senasib seperjuangan (1979). Lokasi : halaman depan SD No. 124/III Cupak. Dokumen pribadi.
Kenangan indah bersama rekan senasib seperjuangan (1979). Lokasi : halaman depan SD No. 124/III Cupak. Dokumen pribadi.
Usai mengajar di kelas, kru SD 124/III itu berdiri di pinggir pekarangan, nyender di pagar bambu menghadap ke utara. Melihat kalau ada sepeda yang datang dari arah kota. Mana tahu pengendaranya Kepala sekolah yang ditunggu-tunggu. Saya juga ikutan.

Zaman itu sekali ketemu bendahara, urusan gaji belum tentu langsung kelar. Banyak urusan yang harus diselesaikan. Daftar permintaan gaji dibuat manual oleh Kepala Sekolah. Sedikit saja kesalahan, diulang lagi dari awal. Jangankan komputer, mesin ketik saja sekolah tersebut belum punya. Tak heran, gaji sampai di tangan guru antara tanggal 10-15.

Semua ada aturan mainnya. Ketika pembayaran gaji berlangsung, saya hanya gigit jari. Salah sendiri. Guru seangkatan saya mulai masuk dan melapor awal April. Sedangkan saya tanggal 1 Mei masih di Riau ikut suami. Dasar buta informasi. Senior dan yunior sama-sama bloon.

Meskipun terlambat hak saya 3 bulan tetap dibayar. Tetapi disunat sana-sini. Gaji Maret boleh dikatakan minus. Saya tak berdaya mau berbuat apa. Terima saja apa adanya. Melihat lembaran lima ribuan saja lutut saya bergoyang dangdut. He ... he ....

Habis gajian, saya beli beras, sarden, minyak goreng, minyak tanah untuk lampu, dan kebutuhan harian lainnya. Tak lupa supermi makanan termewah sedunia.

Belum genap dua minggu, uang sudah ludes. Saya sedih lagi. Kepada siapa harus mengadu. Orangtua jauh , sanak keluarga tiada. Suami berdomisili di luar provinsi. Minta dikirimi? Kantor pos adanya di kota kabupaten. Dua minggu wessel pos belum tentu sampai.

Untungnya saya punya ibu baru yang baik. Awal berkenalan spontan saya memanggilnya Emak. Seorang janda tua. Beliau tinggal bersama anak perempuannya yang saya sapa "Uni" (Mbak), single parrent muda beranak dua, (kelas 1 SMP dan 5 SD, dua-duanya cowok).

Kondisi ekonominya tentu tergambar jelas. Kepada keluarga inilah saya numpang makan menjelang gajian bulan depan. Paling-paling kontribusi saya ikut ke kebun memetik sayur, mengangkat kayu bakar, dan memasak ketika Emak dan Uni ke sawah.

Saya benar-benar tak enak. Jangankan bayar kontrakan, menambah beban pemilik rumah pula. Tetapi, sedikit pun tak tergambar ketidakikhlasan di wajah mereka. Kondisi ini berlangsung selama 3 bulan.

Habis gajian, saya beli beras, sarden, minyak goreng, minyak tanah untuk lampu, dan kebutuhan harian lainnya. Tak lupa supermi makanan termewah sedunia.

Selain orangtua kandung, saat itulah pertama saya bertemu manusia terbaik sejagat. Saya tak mau menyebut dan menganggapnya ibu kost. Sebab kebaikan mereka tak pantas saya bayar dengan apapun.

Dua kebaikan khusus yang tak mungkin terhapus di benak saya:

Pertama, saat saya pindah tempat tinggal ke lain desa, Emak dan Uni membekali saya dengan perlengkapan semampunya. Sebuah bantal, selembar tikar, lampu minyak, dan beberapa perabot dapur yang saya belum mampu membelinya.

Ke dua, Setiap kali saya melahirkan, Uni selalu mendampingi. Tiga hari pertama, pagi-pagi beliau menyiapi air panas buat saya mandi. Urusan dapur semuanya beres. 

Yang diwanti-wanti suami saya, jangan beliau mencuci pakaian. Maklum, zaman itu pembalut wanita belum memasyarakat. Meskipun di kota sudah dijual, tidak terjangkau oleh kantong PNS golongan II/a seperti saya.

Kini, mereka berempat telah tiada. (Emak dan Uni plus dua putranya). Rumah dan kamar kami dahulu sebagai saksi bisu. Walaupun kosong tak berpenghuni, di sanalah penderitaan hidup ini pernah bersemayam. Kehidupan cucu cicit dan keluarga dekatnya telah terbilang mapan. Mereka punya tempat tinggal masing-masing.

Tetapi ukhuwah Islamiah saya dan keturunan beliau tetap tersambung. Walaupun kami berdomisili di tempat berbeda. Kapan ketemu, atau nelepon, ada yang suka manja-manja, serasa anak dan cucu sendiri. Seketika pula terselip doa di dalam hati. Semoga mereka berempat damai di alam sana.

Demikian nasib pendidik era tujuh puluhan. Bandingkan dengan kesejahteraan guru zaman sekarang.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun