Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nasib Guru Era 70-an, Numpang Makan di Rumah Penduduk

4 Mei 2019   21:49 Diperbarui: 6 Mei 2019   14:10 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama usai acara perpisahan siswa kelas VI tahun 1978, di SD No 33/III Tanjung Tanah. Tampak siswa tanpa pakaian seragam, bahkan ada yang masih nyeker. Dokumen Pribadi.

Semua ada aturan mainnya. Ketika pembayaran gaji berlangsung, saya hanya gigit jari. Salah sendiri. Guru seangkatan saya mulai masuk dan melapor awal April. Sedangkan saya tanggal 1 Mei masih di Riau ikut suami. Dasar buta informasi. Senior dan yunior sama-sama bloon.

Meskipun terlambat hak saya 3 bulan tetap dibayar. Tetapi disunat sana-sini. Gaji Maret boleh dikatakan minus. Saya tak berdaya mau berbuat apa. Terima saja apa adanya. Melihat lembaran lima ribuan saja lutut saya bergoyang dangdut. He ... he ....

Habis gajian, saya beli beras, sarden, minyak goreng, minyak tanah untuk lampu, dan kebutuhan harian lainnya. Tak lupa supermi makanan termewah sedunia.

Belum genap dua minggu, uang sudah ludes. Saya sedih lagi. Kepada siapa harus mengadu. Orangtua jauh , sanak keluarga tiada. Suami berdomisili di luar provinsi. Minta dikirimi? Kantor pos adanya di kota kabupaten. Dua minggu wessel pos belum tentu sampai.

Untungnya saya punya ibu baru yang baik. Awal berkenalan spontan saya memanggilnya Emak. Seorang janda tua. Beliau tinggal bersama anak perempuannya yang saya sapa "Uni" (Mbak), single parrent muda beranak dua, (kelas 1 SMP dan 5 SD, dua-duanya cowok).

Kondisi ekonominya tentu tergambar jelas. Kepada keluarga inilah saya numpang makan menjelang gajian bulan depan. Paling-paling kontribusi saya ikut ke kebun memetik sayur, mengangkat kayu bakar, dan memasak ketika Emak dan Uni ke sawah.

Saya benar-benar tak enak. Jangankan bayar kontrakan, menambah beban pemilik rumah pula. Tetapi, sedikit pun tak tergambar ketidakikhlasan di wajah mereka. Kondisi ini berlangsung selama 3 bulan.

Habis gajian, saya beli beras, sarden, minyak goreng, minyak tanah untuk lampu, dan kebutuhan harian lainnya. Tak lupa supermi makanan termewah sedunia.

Selain orangtua kandung, saat itulah pertama saya bertemu manusia terbaik sejagat. Saya tak mau menyebut dan menganggapnya ibu kost. Sebab kebaikan mereka tak pantas saya bayar dengan apapun.

Dua kebaikan khusus yang tak mungkin terhapus di benak saya:

Pertama, saat saya pindah tempat tinggal ke lain desa, Emak dan Uni membekali saya dengan perlengkapan semampunya. Sebuah bantal, selembar tikar, lampu minyak, dan beberapa perabot dapur yang saya belum mampu membelinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun