Saya candai dia. Â "Ngomong-ngomong apa tak minat cari penggati, nih?".
"Gak kok, Bu. Dulu pernah. Tapi ketipu." Wajah Mbak Tuti mendadak sendu. "Setelah menikah, saya dan dia buka kebun di Muaro Bungo. Orang sana nyebutnya sistem maro. Tuan tanah menyiapkan  lahan 8 hektar, kita yang menggarap. Dengan perjanjian setelah menghasilkan, kebun sekalian tanahnya dibagi dua.  Empat hektar untuk bos, sisanya yang 4 hektar bagian saya dan suami".
"Usai kebun itu ditanam, suatu hari saya pulang ke Rimbo Bujang untuk suatu urusan. Taunya, kebun itu dijual sama dia.  Duitnya dibawanya kabur, pulang ke kampungnya di Jawa, Jepara sana.  Satu sen pun tiada dia ngasih saya. Padahal saya juga  ikut bekerja. Mulai merintis, menyemprot,  sampai badan saya kurus dan  hitam  kering," kenangnya. "Ya, udah. Dasar bukan rezeki.  Saya tak mau berlarut-larut," lanjutnya.
"Kok bisa ketipu, Mbak?"
"Saya tertarik pada dia karena solatnya taat, pandai ngaji, rajin berjamaah ke Masjid. Sama seperti almarhum suami  pertama.  Tahunya jadi begini. Rupanya di kampungnya dia punya anak isteri malah  ada cucunya juga".
Saya ikut terhanyut. Agak menyesal juga. Tersebab keusilan saya luka di hatinya terkulik kembali.
 "Selama bekerja di proyek ini, apa suka duka yang pernah Mbak alami?"
"Maksudnya?"
"Ya, susahnya apa. Semisal sering diganggu lelaki iseng. Kan Mbak sendirian tuh, perempuan. Mereka semua pada jauh dari isteri."
"Nggak kok Bu. Mereka orang baik, semua sejalur saya, keponakan-keponakan saya.  Empat masih bujangan, lima sudah beristeri. Hubungan kami sepert  ibu dan anak," balasnya.