Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Sendu Wanita Jempolan, Si Buruh Dapur yang Suka Berbagi

2 Mei 2019   08:59 Diperbarui: 4 Mei 2019   22:40 1612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbak Tutik, Santai sore, setelah tugas memasaknya usai. Dokumen pribadi..

Ternyata, sejak enam hari yang lalu saya punya tetangga baru. Sekilas terlihat, dia seperti  nyonya rumah biasa.  Penampilan sederhana  tetapi rapi. Semula saya menduga dia isteri  salah seorang  pekerja bangunan yang ngontrak di rumah petak milik tetangga  sebelah. 

Dugaan saya bukan tanpa alasan. Di antara 10 penghuni kontrakan tersebut hanya dia yang emak-emak. Lainnya bapak-bapak. Saya samperin dia. Tanpa basa-basi dia mengajak saya ke dapurnya.  Ingin tahu siapa wanita cantik ini? Berikut pengakuannya kepada saya.

Perempuan setengah baya itu bernama Tutik. Setahun terakhir dia bekerja sebagai tukang masak sekelompok buruh bangunan, yang berjumlah antara 10-20 orang. Tempatnya berpindah-pindah mengikuti di mana  daerah proyeknya.

Saat ini para buruh tersebut sedang membuat trotoar. Sekalian menambal jalan aspal yang rusak. Kebetulan lokasinya di sekitar kediaman saya, jalan raya lintasan Sungai Penuh-Jambi, Desa Simpang Empat Tanjung Tanah, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.  

Sebelumnya perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di bangku SMP ini bekerja menggores karet di kampungnya Rimbo Bujang Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.

Ketika ditanya enak mana menggores daripada tukang masak. Spontan dia menjawab, "Enak tukang masaklah Bu. Di Rimbo saya cuman memburuh. Bukan karet sendiri. Hasilnya bagi dua. Sebagian  untuk pemiliknya, sebagian lainnya buat saya," katanya. "Di sini saya terima gaji bersih  Rp 2 juta perbulan. Pembayarannya lancar. Makan, apa-apa, semua gak mikir. Gawenya enteng. Masak 3x sehari, ala kampung saya aja,"  tambahnya tersenyum bangga.

Tanpa bermaksud kepo tentang pribadinya meskipun kepo benaran, saya beranikan diri menanyakan keluarganya.

Mulailah Mbak Tutik  berkisah, bahwa dia punya anak 3. Semuanya sudah menikah dan memiliki anak. Suaminya meninggal kurang lebih 10 tahun yang lalu akibat gagal ginjal. Ketika itu anak bungsunya  kelas 1 Tsanawiyah.   

"Udah punya cucu ...? Ah masak. Pantasnya  empat puluh limaan. Mungkin dari muda tenaga Mbak tak terlalu terkuras, karena tak biasa bekerja berat," tukas saya.

"Ah Ibu, Bisa aja. Udah 52 tahun kok, Bu," sanggahnya seraya tersenyum. "Saya orang susah, Bu. Semasa anak-anak masih kecil butuh biaya sekolah, harga karet mulai jatuh. Saya menjadi pembantu rumah tangga di kota Jambi. Waduh ...!  Capeknya minta ampun.  Semua pekerjaan rumah saya yang beresin. Momong, masak, nyuci,ngepel, nyeterika, dan lain-lain," kenangnya sambil mengiris-iris kentang.

Mbak Tutik lagi ngiris kentang. Dokumen pribadi
Mbak Tutik lagi ngiris kentang. Dokumen pribadi

Saya candai dia.  "Ngomong-ngomong apa tak minat cari penggati, nih?".

"Gak kok, Bu. Dulu pernah. Tapi ketipu." Wajah Mbak Tuti mendadak sendu. "Setelah menikah, saya dan dia buka kebun di Muaro Bungo. Orang sana nyebutnya sistem maro. Tuan tanah menyiapkan  lahan 8 hektar, kita yang menggarap. Dengan perjanjian setelah menghasilkan, kebun sekalian tanahnya dibagi dua.  Empat hektar untuk bos, sisanya yang 4 hektar bagian saya dan suami".

"Usai kebun itu ditanam, suatu hari saya pulang ke Rimbo Bujang untuk suatu urusan. Taunya, kebun itu dijual sama dia.  Duitnya dibawanya kabur, pulang ke kampungnya di Jawa, Jepara sana.  Satu sen pun tiada dia ngasih saya. Padahal saya juga  ikut bekerja. Mulai merintis, menyemprot,  sampai badan saya kurus dan  hitam  kering," kenangnya. "Ya, udah. Dasar bukan rezeki.  Saya tak mau berlarut-larut," lanjutnya.

"Kok bisa ketipu, Mbak?"

"Saya tertarik pada dia karena solatnya taat, pandai ngaji, rajin berjamaah ke Masjid. Sama seperti almarhum suami  pertama.  Tahunya jadi begini. Rupanya di kampungnya dia punya anak isteri malah  ada cucunya juga".

Saya ikut terhanyut. Agak menyesal juga. Tersebab keusilan saya luka di hatinya terkulik kembali.

 "Selama bekerja di proyek ini, apa suka duka yang pernah Mbak alami?"

"Maksudnya?"

"Ya, susahnya apa. Semisal sering diganggu lelaki iseng. Kan Mbak sendirian tuh, perempuan. Mereka semua pada jauh dari isteri."

"Nggak kok Bu. Mereka orang baik, semua sejalur saya, keponakan-keponakan saya.  Empat masih bujangan, lima sudah beristeri. Hubungan kami sepert  ibu dan anak," balasnya.

"Senangnya?"

"Apa, ya?" Mbak Tutik mengerutkan keningnya. "Oh, ya. Saya pernah bekerja di kota Sungai Penuh selama 5 bulan. Dapat duit 10 juta. 2 juta saya bayar ini itu. Siasanya 8 juta saya bawa pulang ke Jawa. Nengok Mbak saya. Sampai di sana saya bagi-bagi pada keponakan. Yang masih kecil saya kasih 20 ribu. Yang besar 50 ribu. Rame, Bu. Mereka pada senang semua. Saya juga gembira," paparnya bersemangat.

"Kebahagiaan saya begitu, Bu. Berbagi, membantu keluarga. Jika ada yang menikahkan anaknya saya kirimi duit," katanya.

"Di Jawa itu enak. Belanjaan serba murah. Recehan seratusan masih dipake. Di Rmbo Bujang, uang seribu aja gak laku".

Untuk diketahui, Mbak Tutik ini asli Semarang Jawa Tengah. Semasa kelas 3 SD, tepatnya tahun 1977 dia ikut orangtuanya bertransmigrasi ke Rimbo Bujang. Kini ayah dan bundanya telah tiada.

"Saya tinggal dewe an  di lahan dan rumah sendiri. Anak-anak sudah saya kasih lahan 2 hektar  per orang,"  jelasnya dengan wajah berseri.

Gamran sudut dapur kontrakan Mbak Tuti. Dokumen pribadi.
Gamran sudut dapur kontrakan Mbak Tuti. Dokumen pribadi.

Terakhir  saya tanyakan  apa harapan Mbak Tutik ini  kepada pemerintah.

Dia menjawab, "Gak mengharap apa-apa to, Bu. Saya belum pernah dapat bantuan dari pemerintah. Janda-janda di tempat saya pada dapat semua. Ada yang dikasih uang, beras, kartu berobat gratis. Padahal mereka masih muda, ekonominya lebih mampu ketimbang saya".

Sebelum pergi, saya memberitahukan Mbak Tutik proses pengurusan Kartu Indonesia Sehat. Dia mengiyakan, saya pamit  pulang.

****

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun