Tak heran, hari-hari sebelum dan sesudah pemilu, uang beredar melimpah ruah. Ini ditandai oleh ramainya pasar yang luar biasa. Kalau boleh saya memvonis, Â khusus di daerah saya, mungkin pileg 2019 ini adalah pileg tergila di sepanjang sejarah.Â
Sungguh miris nasib bangsa ini. Semakin ke depan ketidakadilan kian meraja lela. Praktik jual beli suara hanya mencenderai tantanan demokrasi dan intelektual oknum pelakunya. Â Lebih dari itu merusak mental masyarakat secara keseluruhan. Mereka menganggap suap menyuap dalam segala urusan bukanlah suatu dosa.
Memaknai masalah jual beli suara ini,  timbul perdebatan antara  kami emak-emak dalam pertemuan arisan desa.
Kelompok pertama, mengatakan uang atau benda pemberian caleg itu halal. Alasannya, "Kan dikasih, tanpa diminta. Â Asal tidak dibarengi syarat-syarat tertentu. Mana tahu si caleg ingin bersedekah, sekalian minta didoakan agar dia terpilih menjadi anggota legislatif. Â Kalau bingkisan disertai pesan khusus, itu jelas dosa. Â Lebih baik ditolak saja," Â kata Ibu NR yang suka serius.
Kelompok ke dua, bilang haram. "Secara tersurat memang tak ada amanat harus mencoblos  si A atau si B.  Otak kita kan bisa mikir. Kalau tak ada maunya, tidak mungkin dia ngasih uang tok. Tak ada makan siang yang gratis," bantah Ibu ED diamini oleh rekan sebelahnya.Â
Demikian cerita ringan di sudut-sudut desa, setelah pemilu 2019 berlalu. Â Ditunggu obrolan menarik seputar pemilu dari Anda di sana. Salam hormat kompasianers.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H