Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Inilah Pileg Tergila di Sepanjang Sejarah

29 April 2019   22:22 Diperbarui: 29 April 2019   22:41 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: www.infoviral.co.id

Banyak kalangan mengatakan, pemilihan umum Indonesia tahun 2019 adalah pemilu terumit di dunia. Lima surat suara dicoblos pada saat yang sama  di bilik yang sama. Ruwet, merepotkan, sekaligus membingungkan. Terutama bagi orang-orang kampung yang tidak bisa baca tulis.

Syukur. Perhelatan akbar ini telah usai. Meskipun harus dibayar mahal. Ratusan nyawa petugas  KPPS melayang, ribuan tubuh terkapar di rumah sakit akibat kelelahan menjalankan tugas.

Pemenangnya pun sudah tergambar jelas. Tinggal menunggu proses selanjutnya dan pengumuan resmi dari  KPU.  

Untuk pilres, masalahnya mungkin agak dilematis. Sebab ada paslon yang siap menang tapi belum siap kalah. Ini biarlah menjadi bagian dari seninya berdemokrasi.

Bagi caleg  yang lolos, pengorbanan mereka telah berbuah manis. Kursi empuk sudah di depan mata. Yang belum berhasil, harus bersabar dulu. Lima tahun ke depan jalan masih terbentang panjang.

Khusus masalah pileg DPRD Kabupaten di  tempat saya, kini saatnya fakta berbicara. Kesempatan nyaleg boleh-boleh saja terbuka untuk semua warga negara, tanpa memandang status sosial.  Namun, pemenangnya tetap di genggam tangan-tangan tertentu. Siapa lagi kalau bukan kaum berduit.

Caleg bokek hanya gigit jari. Sepintar dan sehebat apapun dia, setinggi apun modal sosialnya mereka  pasti  kalah telak. Jangankan di level dapil, di desanya sendiri  dia KO  habis. Yang tersisa hanya kecewa berteman duka.

Mendingan caleg bokek modal dengkul. Meskipun kalah tidak terlalu stress. Paling-paling sedihnya seminggu dua minggu. Umumnya mereka ini pemain kelas  iseng-iseng  berhadiah alias sekadar uji kebolehan. Menang syukur, kalah pun siap. Paling energi non meterialnya yang terkuras. Boro-boro melakukan serangan fajar, serangan cacing di perut pun mereka tak mampu meredamnya. he he ....

Yang kasian, caleg beraset  gantung. Ibarat berselimut kain 3 hasta. Ditarik ke bawah kepala tampak, dihela ke atas kaki tersembul. Uang habis tenaga  amblas. Amplop tersebar tiada dibalas.

Harus bagaimana lagi. Sebelum nyoblos,  calon pemilih yang sudah dipinang diam-diam merelakan dirinya diculik caleg lain. Mereka terpikat isi amplop yang lebih tebal. Dalam situasi genting begini,   bukan orang cari duit. Tapi duitlah yang mencari orang. Jika caleg putra desa cuman sanggup bayar 100 ribu, yang dari luar mampu dua atau tiga kali lipat.

Saya menangkap obrolan di kedai kopi, kian sedikit target suara yang hendak dicapai, persaingan semakin ketat. Terlebih jika jumlah kontestannya banyak. Katakanlah untuk memenangkan kompetisi seorang caleg DPRD kota/kabupaten cuman butuh 500 suara. Mereka tak rugi bermain di angka 1 juta persuara. Kalau hanya seratus dua ratus ribu, dijamain dia akan keok.

Tak heran, hari-hari sebelum dan sesudah pemilu, uang beredar melimpah ruah. Ini ditandai oleh ramainya pasar yang luar biasa. Kalau boleh saya memvonis,  khusus di daerah saya, mungkin pileg 2019 ini adalah pileg tergila di sepanjang sejarah. 

Sungguh miris nasib bangsa ini. Semakin ke depan ketidakadilan kian meraja lela. Praktik jual beli suara hanya mencenderai tantanan demokrasi dan intelektual oknum pelakunya.  Lebih dari itu merusak mental masyarakat secara keseluruhan. Mereka menganggap suap menyuap dalam segala urusan bukanlah suatu dosa.

Memaknai masalah jual beli suara ini,  timbul perdebatan antara  kami emak-emak dalam pertemuan arisan desa.

Kelompok pertama, mengatakan uang atau benda pemberian caleg itu halal. Alasannya, "Kan dikasih, tanpa diminta.  Asal tidak dibarengi syarat-syarat tertentu. Mana tahu si caleg ingin bersedekah, sekalian minta didoakan agar dia terpilih menjadi anggota legislatif.  Kalau bingkisan disertai pesan khusus, itu jelas dosa.  Lebih baik ditolak saja,"  kata Ibu NR yang suka serius.

Kelompok ke dua, bilang haram. "Secara tersurat memang tak ada amanat harus mencoblos  si A atau si B.  Otak kita kan bisa mikir. Kalau tak ada maunya, tidak mungkin dia ngasih uang tok. Tak ada makan siang yang gratis," bantah Ibu ED diamini oleh rekan sebelahnya. 

Demikian cerita ringan di sudut-sudut desa, setelah pemilu 2019 berlalu.  Ditunggu obrolan menarik seputar pemilu dari Anda di sana. Salam hormat kompasianers.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun