Seperti dilansir oleh hampir semua media massa, menyusul tertangkapnya Bowo Sidik Pangarso anggota DPR Komisi VI Fraksi Golkar Rabu malam 27/3/2019 yang lalu, tim KPK juga mengamankan uang sekitar Rp 8 miliar di kantor PT Inersia dalam pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu. Uang tersebut telah dimasukkan ke 400 ribu amplop, dalam 84 kardus.
Manusia waras pasti menduga uang tersebut digunakan untuk apa.
Rupanya syahwat ingin berkuasa itu melebihi kecanduan narkoba. Dari satu periode ke periode berikutnya. Sedapat mungkin seumur hidup. Hanya maut yang dapat membuat mereka mundur.
Hukum penjara, cuman membatasi hak politiknya untuk 5 tahun. Selepas itu dia pengen dan pengen lagi. Sementara biaya berpolitik di negeri ini sangat mahal. Konon mencapai Rp 5 miliar untuk ke DPR RI. Ini baru modal awal.
Pertengahan Maret yang lalu, saya naik mobil dari Sungai Penuh menuju kota Jambi melewati 7 kabupaten/kota dalam Provinsi Jambi. Di sepanjang jalan yang saya lewati berseliweran baliho dan spanduk caleg. Di perkampungan, di kebun-kebun, di hutan belantara pun wajah-wajah cantik dan ganteng tersebut mejeng santai di pohon-pohon dan di tiang-tiang kayu.
Khusus Caleg DPD dan DPR RI, saya tak perlu bingung mengidentifikasi. Karena saking banyaknya, wajah para calon sudah familiar dengan memori saya.
Memasuki Kota Jambi, di sana-sini terpampang billboard. Luasnya susah diperkirakan. Lagi-lagi memamerkan foto-foto yang sama. Ditambah pula dengan muka-muka yang lain. He he kaya diintimidasi jin saja. Inilah ciri khasnya Pemilu.
Bayangkan berapa jumlahnya untuk 11 kabupaten yang ada dalam provinsi Jambi.
Saya berpikir ngawur. Andai dijual kambing dan ayam milik warga satu kampung sekalian sendal jepit empunya, belum tentu mampu membiayai cetak baliho dan spanduknya saja untuk seorang caleg.
Berapa pula biaya pemasangannya. Sebagian masyarakat desa sudah berani minta bayaran jika bahu jalan di depan rumahnya digunakan untuk memasang baliho dan spanduk. Besarnya antara Rp 50-500 ribu per unit.
Belum termasuk biaya logistik lainnya. Bayar iklan di media massa, cetak kalender, stiker, kaus bergambar wajah caleg, cetak Buku Yasin bergambar caleg, dan sebagainya. Tak tertutup kemungkinan biaya sosial nyumbang masjid, musala, kelompok pengajian, dan biaya tak terduga lainnya.
Timses dan relawan harus begah. Kalau tanggung-tanggung dia bisa berselingkuh. Dukungannya pindah ke lain caleg. Selanjutnya biaya pengumpulan massa pada putaran terakhir masa kampanye, biaya saksi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS), dan lain sebagainya.
Berapa persiapan untuk serangan fajar? Merujuk pada besaran uang Bowo Sidik Pangarso yang disita KPK akhir Maret lalu, pecahan RP 20-50 ribu yang telah diisi ke dalam 400 ribu amplop. Artiya, sebuah amplop isinya ada yang Rp20 ribu, ada pula Rp 50 ribu.Â
Kalau benar duit tersebut akan digunakan untuk serangan fajar, meloloskan dirinya ke DPR RI 2019 ini, kasian juga rakyat penerima. Suara mereka hanya dihargai antara Rp 20-50 ribu. Di desa-desa saja tak ada yang main di bawah 100 ribu. Bahkan banyak yang 200 ribu.
Sudah bukan rahasia umum, soal jual beli suara di dalam pilih memilih ini tradisi klasik yang turun temurun. Maraknya di Pilkada, Pileg kabupaten/kota, bahkan sampai ke pilkades.
Modusnya semakin transparan. Ibarat iblis, wujudnya sudah kasar. Tak takut kepada siapa-siapa. Kepada Tuhan sekalipun. Antara penjual dan pembeli pun seperti simbiosis mutualisme. Tak heran, para pengicar kursi terhormat itu grasak-grusuk mencari dana. Tak ada jalur halal, rute haram pun harus mereka tempuh.
Sebagian masyarakat tak segan-segan protes. Ketika diberikan kalender bergambar kandidat, dengan tegas mereka menolak, "Kami butuh uang, bukan kalender. Siapkan amplop, kamu akan saya coblos."
Secara umum para penjual suara ini terbagi dalam 3 golongan
- Jujur dan Takut DosaÂ
Sering kita dengar saran dari beberapa kalangan, "Ambil uangnya jangan coblos orangnya!"Â
Kebanyakan masyarakat pedesaan, tidak gampang menerima ajakan begitu. Takut dosa mengecewakan orang lain. Pilihannya jelas berlabuh kepada kandidat yang mengiriminya "angpau" . Mereka tidak mau menerima lebih dari satu bingkisan.
- Bermain ala Preman
Golongan ini ratu dan raja selingkuh. Mereka menerima setiap amplop yang dikirimi padanya. "Kan dikasih. Kita tidak minta. Kalau tidak sekarang kapan lagi nyicip uang pejabat," curhat R gadis pemilih pemula usai pilkada tahun lalu. Saya tertawa ngakak.
Jika dalam satu keluarga ada 4 pemilih, masing-masing mendapat 400 ribu. Maka cahaya fajar yang bersinar ke rumah tangga tersebut Rp 1 juta 600 ribu. Tak heran, musim pemilhan identik dengan panen uang.
Setelah menerima uang, ada tiga kemungkinan yang akan mereka lakukan pada hari H-nya kelak. Pertama, mereka mencoblos siapa yang gede isi amplopnya. Kedua, memilih sosok yang dikenalnya, meskipun duitnya minim. Ketiga, sesukanya. Kapan perlu tidak datang ke TPS terlebih jika tak dapat surat undangan mencoblos.
Pelaku kemungkinan ketiga ini semakin tidak terbebani kalau tak ada pesan dari sang caleg minta dicoblos. Artinya, penyerahan uang tanpa ikatan. Misalnya, "Ini uang dari si Anu. Dia minta dicoblos namanya urutan sekian dari partai B."
- Tak Tahu Harus Bagaimana
Ini adalah golongan manula/individu yang tak bisa baca tulis. Sebenarnya mereka pribadi jujur. Tetapi tidak tahu caranya bagaimana. Calon yang akan dipilihnya yang mana? Katakanlah dia sudah dikasih tahu nomor urut dua? Angka duanya seperti apa? Posisinya di mana. Partainya kayak apa? Waduh, Bisa bangkrut itu caleg.
Calon pemilih yang tidak dibayar juga ada. Jumlahnya mungkin tidak seberapa. Pasalnya, boleh jadi kaki tangan si calon tidak berani menawarkan amplopnya dengan berbagai pertimbangan. Alasan lain, ditawari tetapi mereka menolak. Mereka ingin menggunakan suaranya dengan hati. Menitipkan amanah kepada pribadi yag dianggapnya bisa membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Meskipun bermain curang, sedikit sekali caleg yang lolos. Itupun karena disertai dengan modal sosial yang tinggi. Mudah-mudahan, kekalahan yang melanda caleg gila-gilaan begini menjadi pelajaran bagi kontestan lainnya yang bertarung merebut kursi terhormat tersebut.
Menjadi pribadi terhormat tidak harus duduk di kursi legislatif atau menjadi pucuk pimpinan. Tetapi memilih jalan dengan cara terhormat untuk menggapai sesuatu adalah penghormatan tertinggi pada diri sendiri dan terhadap Allah SWT.
Beginilah gosip yang berkembang di lingkungan saya, setiap pileg, pilkada kabupaten/kota berlalu. Semoga ke depannya praktik begini tidak terulang lagi.
Sebagai informasi tambahan, saya belum mendapati Caleg DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, capres, dan cagub melakukan aksi serangan Fajar. Apakah kurir mereka bermain cantik? Wallahu alam bish shawab.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H