Kebanyakan masyarakat pedesaan, tidak gampang menerima ajakan begitu. Takut dosa mengecewakan orang lain. Pilihannya jelas berlabuh kepada kandidat yang mengiriminya "angpau" . Mereka tidak mau menerima lebih dari satu bingkisan.
- Bermain ala Preman
Golongan ini ratu dan raja selingkuh. Mereka menerima setiap amplop yang dikirimi padanya. "Kan dikasih. Kita tidak minta. Kalau tidak sekarang kapan lagi nyicip uang pejabat," curhat R gadis pemilih pemula usai pilkada tahun lalu. Saya tertawa ngakak.
Jika dalam satu keluarga ada 4 pemilih, masing-masing mendapat 400 ribu. Maka cahaya fajar yang bersinar ke rumah tangga tersebut Rp 1 juta 600 ribu. Tak heran, musim pemilhan identik dengan panen uang.
Setelah menerima uang, ada tiga kemungkinan yang akan mereka lakukan pada hari H-nya kelak. Pertama, mereka mencoblos siapa yang gede isi amplopnya. Kedua, memilih sosok yang dikenalnya, meskipun duitnya minim. Ketiga, sesukanya. Kapan perlu tidak datang ke TPS terlebih jika tak dapat surat undangan mencoblos.
Pelaku kemungkinan ketiga ini semakin tidak terbebani kalau tak ada pesan dari sang caleg minta dicoblos. Artinya, penyerahan uang tanpa ikatan. Misalnya, "Ini uang dari si Anu. Dia minta dicoblos namanya urutan sekian dari partai B."
- Tak Tahu Harus Bagaimana
Ini adalah golongan manula/individu yang tak bisa baca tulis. Sebenarnya mereka pribadi jujur. Tetapi tidak tahu caranya bagaimana. Calon yang akan dipilihnya yang mana? Katakanlah dia sudah dikasih tahu nomor urut dua? Angka duanya seperti apa? Posisinya di mana. Partainya kayak apa? Waduh, Bisa bangkrut itu caleg.
Calon pemilih yang tidak dibayar juga ada. Jumlahnya mungkin tidak seberapa. Pasalnya, boleh jadi kaki tangan si calon tidak berani menawarkan amplopnya dengan berbagai pertimbangan. Alasan lain, ditawari tetapi mereka menolak. Mereka ingin menggunakan suaranya dengan hati. Menitipkan amanah kepada pribadi yag dianggapnya bisa membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Meskipun bermain curang, sedikit sekali caleg yang lolos. Itupun karena disertai dengan modal sosial yang tinggi. Mudah-mudahan, kekalahan yang melanda caleg gila-gilaan begini menjadi pelajaran bagi kontestan lainnya yang bertarung merebut kursi terhormat tersebut.
Menjadi pribadi terhormat tidak harus duduk di kursi legislatif atau menjadi pucuk pimpinan. Tetapi memilih jalan dengan cara terhormat untuk menggapai sesuatu adalah penghormatan tertinggi pada diri sendiri dan terhadap Allah SWT.
Beginilah gosip yang berkembang di lingkungan saya, setiap pileg, pilkada kabupaten/kota berlalu. Semoga ke depannya praktik begini tidak terulang lagi.
Sebagai informasi tambahan, saya belum mendapati Caleg DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, capres, dan cagub melakukan aksi serangan Fajar. Apakah kurir mereka bermain cantik? Wallahu alam bish shawab.