Belum termasuk biaya logistik lainnya. Bayar iklan di media massa, cetak kalender, stiker, kaus bergambar wajah caleg, cetak Buku Yasin bergambar caleg, dan sebagainya. Tak tertutup kemungkinan biaya sosial nyumbang masjid, musala, kelompok pengajian, dan biaya tak terduga lainnya.
Timses dan relawan harus begah. Kalau tanggung-tanggung dia bisa berselingkuh. Dukungannya pindah ke lain caleg. Selanjutnya biaya pengumpulan massa pada putaran terakhir masa kampanye, biaya saksi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS), dan lain sebagainya.
Berapa persiapan untuk serangan fajar? Merujuk pada besaran uang Bowo Sidik Pangarso yang disita KPK akhir Maret lalu, pecahan RP 20-50 ribu yang telah diisi ke dalam 400 ribu amplop. Artiya, sebuah amplop isinya ada yang Rp20 ribu, ada pula Rp 50 ribu.Â
Kalau benar duit tersebut akan digunakan untuk serangan fajar, meloloskan dirinya ke DPR RI 2019 ini, kasian juga rakyat penerima. Suara mereka hanya dihargai antara Rp 20-50 ribu. Di desa-desa saja tak ada yang main di bawah 100 ribu. Bahkan banyak yang 200 ribu.
Sudah bukan rahasia umum, soal jual beli suara di dalam pilih memilih ini tradisi klasik yang turun temurun. Maraknya di Pilkada, Pileg kabupaten/kota, bahkan sampai ke pilkades.
Modusnya semakin transparan. Ibarat iblis, wujudnya sudah kasar. Tak takut kepada siapa-siapa. Kepada Tuhan sekalipun. Antara penjual dan pembeli pun seperti simbiosis mutualisme. Tak heran, para pengicar kursi terhormat itu grasak-grusuk mencari dana. Tak ada jalur halal, rute haram pun harus mereka tempuh.
Sebagian masyarakat tak segan-segan protes. Ketika diberikan kalender bergambar kandidat, dengan tegas mereka menolak, "Kami butuh uang, bukan kalender. Siapkan amplop, kamu akan saya coblos."
Secara umum para penjual suara ini terbagi dalam 3 golongan
- Jujur dan Takut DosaÂ
Sering kita dengar saran dari beberapa kalangan, "Ambil uangnya jangan coblos orangnya!"Â