Apalah arti sebuah nama jika dibandingkan sebuah cinta. Ahay ... cinta lagi, cinta lagi. Memang itulah faktanya.
Nama dan cinta itu ibarat siang dan matahari. Cinta akan terasa indah bila dikaitkan dengan sebuah nama. Â Rindu pun terasa sahdu tatkala mengingat sebuah nama, yang keberadaannya jauh di luar sana. Ah, ini hanya intermezo.
Nama itu tidak melulu urusan cinta. Lebih dari itu menyangkut identitas. Tanpa identitas seseorang akan sulit dikenali, tentu kerepotan berinteraksi dengan lingkungan. Andai suatu negeri semua penghuninya tidak punya nama, bayangkan apa yang terjadi? Mungkin untuk menyapa satu dan lainnya hanya saling mencolek.
Nama juga kebanggaan diri. Ketika berada di suatu forum, Â seseorang merasa lebih dihargai jika namanya disebut ketimbang sapaan tak berujung tak berpangkal. Semisal, hei, situ, anda, dan panggilan nyeleneh lainnya.Â
Orangtua yang mengerti agama, mempersiapkan nama bernuansa relegi untuk calon buah hatinya, yang mereka rangkai dari huruf/ kata-kata dalam  alquran.Â
Namun menurut pengalaman, dalam pemberian nama kepada si kecil dipengaruhi  pula oleh banyak hal. Di antaranya,
- Perkembangan ZamanÂ
Dahulu kala, di suatu daerah tradisi memberi nama bayi dengan kata seadanya saja. Misalnya Ago (bakul),  Piok  (periuk), Sndok (sendok),  dan sebagainya,  yang diadopsi dari  sebutan benda di lingkungan.  Kisah ini saya peroleh  dari rekan kerja saya, yang kebetulan moyang beliau sendiri pemilik satu dari nama tersebut. Sayangnya, sang penutur tidak memberitahukan, apa alasannya mereka menggunakan nama sebegitu enteng bin aneh tersebut.
Bandingkan dengan generasi zaman now. Namanya keren-keren dan  kekinian.  Sehingga lidah dan bibir saya terlipat-lipat melafalkannya. Vatilialova,  Maryanewloves, dan entah apa lagi bingung mengingatnya.
- Lingkungan Sosial
Empat puluhan tahun lalu, saya temui dalam satu desa memiliki nama yang sama antara satu dengan lainnya. Perempuan umumnya bernama depan "Siti" plus nama wanita Arab . Contoh, "Siti Aisyah". Dalam satu desa, ada puluhan pemilik nama siti Aisyah. Tua, muda, remaja, sampai ke  balita. Begitu juga nama lain, seperti, Siti Khadijah, Siti Aminah, Siti Rahmah, dan berjibun Siti lainnya beraroma Arab.
Kalau cewek pakai "Siti", cowoknya pakai  "Muhammad, Ahmad,  Saidina, atau Abdul".  Sama halnya dengan kaum Hawa, ada puluhan pria namanya didahului dengan nama depan Muhammad. Belakangnya  disematkan nama rasul, nabi, sahabat atau yang berbau Arab.  Ada Muhammad Ridwan, Ahmad Sulaiman, Saidina Umar, Abdul Malik,  dan sebagainya. Tak terhitung jumlahnya pria bernama seperti di atas.
Lalu bagaimana membedakan antara Siti Aisyah satu dengan Siti Aisyah lainnya? Dan Muhammad Ridwan satu dengan lainnya?  Gampang. Ujungnya disisipkan nama bapak. Kalau ayahnya bernama Muhammad Sabirin, anak perempuan menjadi  Siti Aisyah Sabirin. Untuk pria Muhammad  Ridwan Sabirin. Demikian seterusnya.
Tak jarang nama anaknya sama, nama bapaknya serupa. Untuk membedakannya, tambahkan nama ibunya.  "Siti Aisyah mana?" Kalau Emaknya bernama Siti Rindu dijawab, " Siti Aisyah  anak Siti Rindu."  Hal serupa berlaku juga untuk anak cowok.
Di desa lain beda lagi. Anak perempuan trendnya bernama depan "Umi". Â Contohnya, Umi Kalsum, Umi Khanik, Umi Habibah, dan setumpuk Umi lainnya.
Kondisi ini bukan tanpa alasan. Â Karena masyarakat setempat teguh memegang ajaran agama. Â Makanya dalam memilih nama buat keturunannya, sebagian besar mereka mengcopypaste nama dari negeri Arab. Yakni tanah kelahiran Muhammad SAW sebagai pembawa Agama Islam Rahmatan Lil Alamin.
Seiring berjalannya waktu, kini nama-nama seperti ini mulai berkurang. Karena banyaknya warga yang merantau dan berdomisili di Malaysia, cendrungnya ke-Malaysia-malaysia-an. Anak perempuan, ada Siti Norhaliza, Siti Norhafifah, dan Siti Nor ... lainnya.
Anak lanang, tanpa meniru orang Malaysia pun dari dahulu memang ada beberapa kesamaan. Salah satunya banyak memakai "Muhammad". Ujungnya sudah mengalami modernisasi, tidak melulu nama nabi. Misalnya  Muhammad Surya,  Muhammad Kurnia, Muhammad Alfin, Muhammad Haryadi, dan lain sebagainya. "Ahmad, Saidina dan Abdul",  hampir sepi di permukaan.
Saya yakin, nama seperti  ini jarang dipakai oleh saudara-saudara  kita di ibu kota dan di luar Sumatera.
- Selera Orang Tua
Dalam sebuah rumah tangga, sering kita jumpai nama putra-putrinya kebarat- baratan. Meskipun orangtuanya belum pernah pergi ke luar negeri. Umpamanya, Frans, Jhonson, Charless, dan sebagainya. Zaman Orde Baru, puluhan siswa saya senama dengan mentri dan orang dekat Pak Harto. Ada Adam Malik, Ali Sadikin, Harmoko, Suparjo Rustam, dan sebagainya. Menurut saya ini hanya masalah selera.
Suami saya pengagum  WS Rendra dan Ronald Reagan. Dua nama tersebut beliau gabung menjadi "Rendra Regen." Kemudian dipersembahkannya  kepada si bungsu yang lahir pada tahun 1984. Alhamdulillah, si empunya nama tumbuh menjadi  lelaki sehat, baik,  dan saleh. Lagi-lagi ini hanya masalah selera.
Sebenarnya, nama tidak terlalu menentukan karakter dan kehidupan seseorang. Yang penting pendidikan yang baik dari orangtua dan keluarga. Dan tak boleh dikesampingkan, nama jangan membebankan pemiliknya. Tidak berpeluang dijadikan ejekan atau bullying oleh lingkungan, membuat pribadi tersebut menderita seumur hidup.
Nama saya "Nursini".  Kata Emak, nama ini beliau tiru dari teman dekatnya  yang  serba bisa. Pandai menulis dan membaca, terampil menjahit serta memasak.  Syukur, harapan Emak terkabul. Tetapi, saya sering di-bully. Guru dan teman sekolah acap kali  mengejek saya dengan panggilan Nursana atau Nursitu.
****
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H