Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ini Cerita Mencengangkan tentang Pemberian Sebuah Nama

17 Januari 2019   22:33 Diperbarui: 18 Januari 2019   16:18 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Unsplash/rawpixel)

Tak jarang nama anaknya sama, nama bapaknya serupa. Untuk membedakannya, tambahkan nama ibunya.  "Siti Aisyah mana?" Kalau Emaknya bernama Siti Rindu dijawab, " Siti Aisyah  anak Siti Rindu."  Hal serupa berlaku juga untuk anak cowok.

Di desa lain beda lagi. Anak perempuan trendnya bernama depan "Umi".  Contohnya, Umi Kalsum, Umi Khanik, Umi Habibah, dan setumpuk Umi lainnya.

Kondisi ini bukan tanpa alasan.  Karena masyarakat setempat teguh memegang ajaran agama.  Makanya dalam memilih nama buat keturunannya, sebagian besar mereka mengcopypaste nama dari negeri Arab. Yakni tanah kelahiran Muhammad SAW sebagai pembawa Agama Islam Rahmatan Lil Alamin.

Seiring berjalannya waktu, kini nama-nama seperti ini mulai berkurang. Karena banyaknya warga yang merantau dan berdomisili di Malaysia, cendrungnya ke-Malaysia-malaysia-an. Anak perempuan, ada Siti Norhaliza, Siti Norhafifah, dan Siti Nor ... lainnya.

Anak lanang, tanpa meniru orang Malaysia pun dari dahulu memang ada beberapa kesamaan. Salah satunya banyak memakai "Muhammad". Ujungnya sudah mengalami modernisasi, tidak melulu nama nabi. Misalnya  Muhammad Surya,  Muhammad Kurnia, Muhammad Alfin, Muhammad Haryadi, dan lain sebagainya. "Ahmad, Saidina dan Abdul",  hampir sepi di permukaan.

Saya yakin, nama seperti  ini jarang dipakai oleh saudara-saudara  kita di ibu kota dan di luar Sumatera.

  • Selera Orang Tua

Dalam sebuah rumah tangga, sering kita jumpai nama putra-putrinya kebarat- baratan. Meskipun orangtuanya belum pernah pergi ke luar negeri. Umpamanya, Frans, Jhonson, Charless, dan sebagainya. Zaman Orde Baru, puluhan siswa saya senama dengan mentri dan orang dekat Pak Harto. Ada Adam Malik, Ali Sadikin, Harmoko, Suparjo Rustam, dan sebagainya. Menurut saya ini hanya masalah selera.

Suami saya pengagum  WS Rendra dan Ronald Reagan. Dua nama tersebut beliau gabung menjadi "Rendra Regen." Kemudian dipersembahkannya  kepada si bungsu yang lahir pada tahun 1984. Alhamdulillah, si empunya nama tumbuh menjadi  lelaki sehat, baik,  dan saleh. Lagi-lagi ini hanya masalah selera.

Sebenarnya, nama tidak terlalu menentukan karakter dan kehidupan seseorang. Yang penting pendidikan yang baik dari orangtua dan keluarga. Dan tak boleh dikesampingkan, nama jangan membebankan pemiliknya. Tidak berpeluang dijadikan ejekan atau bullying oleh lingkungan, membuat pribadi tersebut menderita seumur hidup.

Nama saya "Nursini".  Kata Emak, nama ini beliau tiru dari teman dekatnya  yang  serba bisa. Pandai menulis dan membaca, terampil menjahit serta memasak.  Syukur, harapan Emak terkabul. Tetapi, saya sering di-bully. Guru dan teman sekolah acap kali  mengejek saya dengan panggilan Nursana atau Nursitu.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun