Ejekan Calon Peresiden nomor urut 02 Prabowo Subianto  terhadap orang Boyolali, 30 Oktober lalu mengulik luka lama  batin saya. Pasalnya, saya juga pernah  menjadi korban perlakuan serupa dari mereka yang merasa dirinya paling hebat dan modern.
Bedanya, peremehan oleh Ketua Umum Partai Gerindra itu dilancarkan kepada semua orang berwajah Boyolali dan hanya sekali saja. Sedangkan perlakuan yang saya terima secara individu, dari kecil sampai remaja.
Sedikit-sedikit  "Tahu apa kau. Orang Tanjung." Aduh, sakitnya bukan kepalang. Tanjung Batang Kapas adalah nama kampung halaman saya. Di sanalah saya lahir dan dibesarkan dengan segala keterbatasan.
Sebenarnya, negeri Tanjung Batang Kapas itu tidak terlalu terpencil. Deru mobil melewati jalan raya dapat didengar dari rumah orangtua  saya. Hanya pada zaman itu akses jalan yang belum memadai. Cuma bisa dilewati sepeda dan pedati selain pejalan kaki.
Seharusnya saya tidak perlu gondokan menerima hukuman begitu. Â Habis kenyataannya saya memang orang pelosok. Tapi, yang namanya manusia hati kecil saya tetap tak terima.
Semasa remaja saya pernah dilancangi terang-terangan oleh seorang pemuda. "Kalau saya mencari bini, tak sirlah menikahi anak Tanjuang." Â Maaak ...! luka apa lagi yang pedih melebihi itu.
Saya cuma cengar cengir, tak berdaya membantah. Meski dalam hati saya berucap, "Sekali kau tak sir seribu kali  kau kuusir." Senjata saya hanya dua. Di sekolah saya tidak bodoh amat. Yang ke dua, pada zaman itu saya berprestasi di bidang baca Al-Quran. Sering memenangi Mushabaqah tingkat Kenagarian. Celakanya  ketika ujian, mereka baik-baik dengan saya. Terutama si cantik bintang kelas.
Kini kondisinya terbalik. Mereka yang sering menghina saya dahulu, kehidupannnya tidak lebih baik daripada saya. Maaf, mungkin  tidak selayaknya saya menulis kisah ini. Bisa-bisa saya dituding pongah  dan ria. Tapi niat saya agar kita semua dapat belajar.  Dunia ini tak hanya digenggam oleh satu tangan.
Era tujuh puluhan, di beberapa kota orang yang lahir dan dibesarkan di Tanjung Batang kapas malah lebih duluan berkembang daripada mereka orang pasar (baca: anak yang lahir dan dibesarkan bukan di pelosok). Tidak heran, karena orang pelosok dan miskin selalu identik dengan pekerja keras. Sanggup menempuh badai dan gelombang kehidupan dimanapun mereka berada.
Paman saya merantau ke Jakarta lulus SMEA tahun 1965. Di sana beliau banting tulang mengubah nasibnya dengan bekerja apa saja. Â Jadi tukang martabak, tukang becak, sampai ke pembantu di restoran.
Awal tujuh puluhan, nasib baik mulai berpihak. Belaiu punya tokoh sendiri, terus menikah. Tak terbilang jumlahnya mereka yang suka ngejek orang Tanjung  dahulu merantau ke Jakarta, nganggur  numpang makan pada beliau. Bekerja pilih-pilih dan gengsi. Tak mau memburuh, ogah jadi tukang martabak. Maunya kerja kantoran.
Beberapa kali saya ke sana, ada saja penganggur dari golongan mereka numpang dan makan di sana. Keluarganya sendiri di Jakart tak mau menampung dia.
Saya bisiki ke isteri paman, "Dulu ini orang sombongnya selangit. Sekarang enaknya dia numpang ke Wan (panggilan untuk paman).
"Sesama Muslim tak boleh dendam. Kasian dia tak ada tempat mengadu," jawab isteri Wan.
Di kota Dumai juga begitu. Ada yang kabur dari rumah tantenya. Ditampung oleh famili saya. Orang mana lagi kalau bukan orang Tanjung.
Merasa diri paling hebat merupakan  salah satu fitrah manusia. Yang saya heran, apakah mereka  tak pernah menyadari suatu saat dia butuh orang lain untuk tempat berbagi derita.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H