Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Begini Efek Kepanikan Saat Gempa Meluluhlantakan Kerinci Tahun 1995

7 Oktober 2018   21:58 Diperbarui: 8 Oktober 2018   05:01 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah gempanya berhenti, apa yang saya lakukan? Bukannya mengajak anak keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Tapi minta diambilkan air minum kepadanya.  Di dalam gelap, bocah lelaki 10 tahun 8 bulan itu meraba-raba pergi ke belakang untuk mencari air minum. Untung Allah masih melindunginya. Sehingga dia selamat sampai kembali di kamar dengan membawa cerek air. Dalam waktu bersamaan pula gempa  berikutnya menyusul. Tetapi tidak sekuat yang pertama.

Besoknya, terlihat pecahan  keramik dan bling berserakan. Alhamdulillah malam itu tiada sedikit pun kaki anak saya tersentuh benda tajam tersebut. Padahal posisi lemari itu ambruk menutupi sedikit pintu keluar masuk ke dapur.

Di kamar depan, suami saya tidak bereaksi sedikit pun. Di sebelahnya ada bangunan dua lantai yang  berdetak-detak seakan terkoyak. Ternyata, tiga sisi dinding tingkat atasnya  retak tembus. Seakan tinggal menunggu detik-detik keruntuhan dan pas menghimpit kepalanya.

Retakan dinding yang sudah ditambal sisa gempa 1995. Dokumen pribadi
Retakan dinding yang sudah ditambal sisa gempa 1995. Dokumen pribadi
Kurang lebih dua menit kami sampai di luar rumah, beliau menyusul. Itu pun karena sudah berkali-kali dipanggil. Mengingat gempa berikutnya sambung menyambung. Walau guncangan tidak terlalu kuat.

Biasanya, dia paling nyinyir atas keselamatan kami sekeluarga. Tidak boleh keluar saat hujan, takut disambar petir. Sebelum tidur, mengunci pintu adalah rutinitasnya. Belum lagi nasihat-nasihatnya yang kadang-kadang membosankan. Anak-anak tak boleh mandi di danau, tak boleh ini dan itu. Kenapa ketika menghadapi gempa dia linglung.

Bila teringat kebodohan saya saat itu, sungguh mengerikan disertai rasa takut.  Terlebih membayangkan bagaimana anak bungsu saya meraba-raba mengambil minum. Sekiranya terjadi apa-apa, pasti  saya menyesal seumur hidup. Barangkali ini yang disebut trauma.

Mendingan saya dan suami.  Keluar rumah dengan pakaian lengkap dan sempat membawa selimut. Seorang pria 48 tahun kenalan saya, tunggang-langgang menyelamatkan diri. Sampai di luar dia baru sadar bahwa dirinya hanya pakai selembar celana dalam.

Dinding yang telah divermak, bekas gempa 1995. Dokomen pribadi
Dinding yang telah divermak, bekas gempa 1995. Dokomen pribadi
Belajar dari peristiwa ini saya berkesimpulan, untuk menghadapi situasi genting seperti bencana gempa, yang pertama diperlukan adalah jangan panik. Kita bisa menetukan sikap  saat pikiran dalam kondisi tenang. 

Yang ke dua, hadapi dengan semangat  atau mental yang kuat. Lawan kemauan untuk berlemah-lemah, supaya tidak terjebak pada sikap cengeng. 

Terakhir, mengingat beberapa daerah di Indonesia yang rawan gempa, alangkah baiknya jika pihak pemerintah memberikan pembekalan dini.  Bagaimana memberdayakan diri saat menghadapi bencana gempa. Aplikasinya dapat melalui penyuluhan kepada masyarakat, dan pelatihan di sekolah-sekolah. Mulai dari pendidikan dasar sampai ke tingkat menengah.

Hal ini diyakini sangat membantu. Buktinya, saat  gempa mengguncang Padang Oktober 2009, saya sedang berada di kampung halaman. Jaraknya 90 km dari kota Padang. Tetapi guncangannya sangat kuat. Sehingga saya mual hampir muntah karena sempoyangan. Berkat pengalaman menghadapi gempa Kerinci 1995, saya berhasil merangkul seisi rumah. Akhirnya kami sukses melewati kondisi dengan tenang.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun