Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Begini Efek Kepanikan Saat Gempa Meluluhlantakan Kerinci Tahun 1995

7 Oktober 2018   21:58 Diperbarui: 8 Oktober 2018   05:01 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: http://jambi.tribunnews.com/


Saya terenyuh ketika menyaksikan, seorang bocah korban gempa Palu  minta ikut Presiden ke Jakarta. Dengan polos bocah bernama Izrael itu bercerita bahwa ibunya berada di syurga. Dia tak boleh nangis. "Kalau aku nangis Mamaku juga nangis." Hanya itu yang ada dibenak bocah seusia Izrael, selain bermain makan, minum, dan tidur.

Kisah pilu itu terekam kamera  saat Presiden  Joko Widodo meninjau kondisi terkini proses evakuasi di Hotel Roa Roa, Palu Sulawesi Tengah.

Naluri saya rasa tersayat setelah mengetahui ibu Izrael ini meninggal akibat gempa dan tsunami 28/9/2018 lalu. Ayahnya dirawat di rumah sakit karena luka parah. Dua adik kembarnya tinggal  bersama tantenya di pengungsian. (Tribunstyle.com).

Kisah ini mengingatkan saya pada anak perempuan 3 tahun putri sahabat suami saya. Dengan bahasa yang belum bisa sepenuhnya saya pahami, dia menceritakan saat ia terperangkap di bawah reruntuhan tembok rumahnya yang ambruk diguncang gempa tahun 1995 yang lalu. Ajaibnya, gadis lincah itu selamat dengan sedikit luka lecet di lengannya. Sedangkan ibunya meninggal dalam posisi berbaring mendekap putri kesayangannya itu. 

Bagi saya pribadi, reaksi negatif sebagian masyarakat Palu, Sigi, dan Donggala Sulteng, pasca gempa dan tsunami bukan hal aneh. Jika ada warga  yang marah-marah mengumpat pemerintah, karena belum mendapat bantuan. Itu lumrah. Namanya orang panik. Mendambakan perhatian, bantuan, minimal ditinjau. Tapi apa hendak dikata. Kondisi sulit menjadi kendala.

Jangankan dihantam gempa  7,7 Skala Richter disertai  tsunami,  terdampak guncangan tanpa stunami saja kalutnya minta ampun. Saya dan keluarga  pernah mengalaminya. Seminggu bermalam di tenda,  saya sangat mengharapkan ibunda dan adik-adik saya dari kampung menjenguk. Namun, harapan itu tak kunjung  terwujud.  

Sementara tetangga sebelah bertubi-tubi mendapat kunjungan dari sanak keluarganya. Dua minggu kemudian, ibu saya datang. Saya sedih, marah, dan menangis sejadi-jadinya. Rasanya mau mencuekinya dan menyuruh beliau pulang saja. Padahal, khususus  di pemukiman saya imbas gempa tidak terlalu parah. Kami tidak kekurangan makanan, air bersih, selimut, dan kebutuhan lainnya semuanya kami tangani secara mandiri. Sumbangan dari pemerintah hanya sebungkus super mie per orang mulai hari ke tiga (kalau tak salah ingat).

Rupanya, Nenek tiga cucu itu tidak menyangka kalau bencana menimpa kami sebegitu parah. "Seumur hidup saya belum pernah mengalami gempa besar yang sampai menghancurkan bangunan," katanya polos. Maklum, saat itu beliau belum punya televisi. "Orang kampung memang pernah bilang. Di Kerinci ada gempa. Banyak penduduk yang mati, ribuan rumah hancur. Makanya saya ke mari," tambahnya.

Untuk diingat kembali, pada tanggal 07 Oktober 1995. Pukul 01.10 Wib, telah terjadi  gempa tektonik berkekuatan 7,0  Skala Richter di Kabupaten Kerinci, Jambi.  Akibatnya,  84 jiwa melayang,  1. 868  luka-luka,  7.137 rumah dan fasilitas umum rusak berat dan ringan.

Didinding rumah saya dampak gempa Kerinci 1995. Dokumen pribadi
Didinding rumah saya dampak gempa Kerinci 1995. Dokumen pribadi
Entah mengapa, malam itu setelah salat Isya suami saya bilang, "Coba, sesekali  temani anak tidur di kamar belakang. Sekalian ngetes. Mana tahu  banyak nyamuk. Sekarang lagi musim demam berdarah."

Saya mengikuti saran beiau.

Tengah malam pukul 01.10 Wib, seluruh anggota keluarga sedang terlelap. Tiba-tiba bumi bergemuruh seakan runtuh disertai guncangan hebat. Di luar kamar terdengar lemari pajangan rubuh. Saya  terbangun. Listrik padam semua. Gelapnya bak dalam kubur. Saya kira dunia akan kiamat. Ranjang  tempat  saya dan si bungsu tidur miring ke kiri. Tubuh ini tergelinding serasa seperti  bola. Akhirnya terlempar jatuh ke lantai. Saya lemas dan lemas sekali.

Setelah gempanya berhenti, apa yang saya lakukan? Bukannya mengajak anak keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Tapi minta diambilkan air minum kepadanya.  Di dalam gelap, bocah lelaki 10 tahun 8 bulan itu meraba-raba pergi ke belakang untuk mencari air minum. Untung Allah masih melindunginya. Sehingga dia selamat sampai kembali di kamar dengan membawa cerek air. Dalam waktu bersamaan pula gempa  berikutnya menyusul. Tetapi tidak sekuat yang pertama.

Besoknya, terlihat pecahan  keramik dan bling berserakan. Alhamdulillah malam itu tiada sedikit pun kaki anak saya tersentuh benda tajam tersebut. Padahal posisi lemari itu ambruk menutupi sedikit pintu keluar masuk ke dapur.

Di kamar depan, suami saya tidak bereaksi sedikit pun. Di sebelahnya ada bangunan dua lantai yang  berdetak-detak seakan terkoyak. Ternyata, tiga sisi dinding tingkat atasnya  retak tembus. Seakan tinggal menunggu detik-detik keruntuhan dan pas menghimpit kepalanya.

Retakan dinding yang sudah ditambal sisa gempa 1995. Dokumen pribadi
Retakan dinding yang sudah ditambal sisa gempa 1995. Dokumen pribadi
Kurang lebih dua menit kami sampai di luar rumah, beliau menyusul. Itu pun karena sudah berkali-kali dipanggil. Mengingat gempa berikutnya sambung menyambung. Walau guncangan tidak terlalu kuat.

Biasanya, dia paling nyinyir atas keselamatan kami sekeluarga. Tidak boleh keluar saat hujan, takut disambar petir. Sebelum tidur, mengunci pintu adalah rutinitasnya. Belum lagi nasihat-nasihatnya yang kadang-kadang membosankan. Anak-anak tak boleh mandi di danau, tak boleh ini dan itu. Kenapa ketika menghadapi gempa dia linglung.

Bila teringat kebodohan saya saat itu, sungguh mengerikan disertai rasa takut.  Terlebih membayangkan bagaimana anak bungsu saya meraba-raba mengambil minum. Sekiranya terjadi apa-apa, pasti  saya menyesal seumur hidup. Barangkali ini yang disebut trauma.

Mendingan saya dan suami.  Keluar rumah dengan pakaian lengkap dan sempat membawa selimut. Seorang pria 48 tahun kenalan saya, tunggang-langgang menyelamatkan diri. Sampai di luar dia baru sadar bahwa dirinya hanya pakai selembar celana dalam.

Dinding yang telah divermak, bekas gempa 1995. Dokomen pribadi
Dinding yang telah divermak, bekas gempa 1995. Dokomen pribadi
Belajar dari peristiwa ini saya berkesimpulan, untuk menghadapi situasi genting seperti bencana gempa, yang pertama diperlukan adalah jangan panik. Kita bisa menetukan sikap  saat pikiran dalam kondisi tenang. 

Yang ke dua, hadapi dengan semangat  atau mental yang kuat. Lawan kemauan untuk berlemah-lemah, supaya tidak terjebak pada sikap cengeng. 

Terakhir, mengingat beberapa daerah di Indonesia yang rawan gempa, alangkah baiknya jika pihak pemerintah memberikan pembekalan dini.  Bagaimana memberdayakan diri saat menghadapi bencana gempa. Aplikasinya dapat melalui penyuluhan kepada masyarakat, dan pelatihan di sekolah-sekolah. Mulai dari pendidikan dasar sampai ke tingkat menengah.

Hal ini diyakini sangat membantu. Buktinya, saat  gempa mengguncang Padang Oktober 2009, saya sedang berada di kampung halaman. Jaraknya 90 km dari kota Padang. Tetapi guncangannya sangat kuat. Sehingga saya mual hampir muntah karena sempoyangan. Berkat pengalaman menghadapi gempa Kerinci 1995, saya berhasil merangkul seisi rumah. Akhirnya kami sukses melewati kondisi dengan tenang.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun