Agustus 1986 tanpa sengaja terbeli  majalah "Fakta Plus", yang memuat kisah-kisah nyata. Pada halaman ke ... berapa saya tak ingat lagi, ada notifikasi. "Kamu punya kisah menarik? Kirim ke Redaksi  Fakta Plus Jalan Petamburan Nomor  1/2 Jakarta Barat Kode Pos 11420. Fakta Plus akan menyediakan bonus untuk setiap tulisan yang dimuat."
Ide mulai mundar mandir di kepala. Mau menulis tak punya mesin ketik. Akhirnya saya tulis pakai pena di atas kertas folio bergaris. Entah berapa lembar kertas terbuang percuma. Baru saja membaca paragraf pembukanya,  terasa murahan dan tidak berbobot. Hukumnya, disobek dan dibuang. Tabiat saya memang begitu. Apa-apa yang  dikerjakan ingin hasilnya perfect. Minimal menurut selera saya. Padahal, kemampuan saya memang segitu adanya.
Kurang lebih sebulan, konsep tersebut tuntas dalam dua halaman. Andaikan dibaca sekarang, pasti  saya termehek-mehek sendiri kayak nenek senewen.Â
Naskah selesai, kebingungan membadai. Seminggu lebih dokumen tersebut mengedap. Saya tak mampu menemukan judul yang pas.  Akhirnya dengan percaya diri, saya kirim juga ke alamatnya.  Saya tak berpikir entah majalah itu masih beroperasi atau tidak. Sebab, saya tidak memperhatikan, bulan dan tahun terbit  Fakta Plus yang saya jadikan acuannya saat itu. Saya juga tidak terlalu berharap naskah tersebut dimuat. Bahkan setelah dikirim, saya melupakannya sama sekali. Â
Ala, Mak. Simpel dan menarik. Alangkah bodohnya saya seminggu lebih berpikir tak menemukan judul sendiri. Senangnya sampai ke tulang. Bukan karena nilai uangnya, tapi karena tulisan saya telah dibaca halayak se Indonesia. Itu yang tergambar di pikiran saya saat itu.
Lucunya, setelah terbit sampai sekarang, saya sendiri tidak pernah membacanya. Namanya  majalah bekas. Mustahil setiap terbitan dijual oleh empunya. Mau beli baru, menjualnya di mana. Dua Toko Buku tergolong besar di kota Sungai Penuh sudah saya jelajahi. Yang satu bilang habis, lainnya menjawab kosong.  Â
Dapat apa uang 5 ribu? Oh, lumayan. Saya belikan selimut panas merek Swallow warna coklat seharga Rp 3.500. Masih bersisa, beli ubi jalar, dan bawang . Lengkaplah sudah kebahagiaan seorang penulis saat itu.
Belasan tulisan berikutnya melayang ke berbagai media. Semuanya fiksi. Alhamdulillah, sebagian  sukses dibalas dengan surat  penolakan. Ada juga yang hilang tak tentu rimbanya, mati tak tahu kuburnya.
Tahun 1992, order menjahit semakin laris. Semenjak itu latihan menulis saya stagnan. Sahabat Pena pun berangsur hilang dari daftar belanjaan bulanan. Sampai sekarang saya tak tahu lagi bagaimana nasibnya majalah murah meriah tersebut. Apakah masih terbit atau tidak.