Belajar menulis  dari sahabat pena, honornya 5 ribu plus tiket ke istana. Sekilas judul ini terkesan kampungan, pamer, ria, dan memuji diri sendiri, seperti katak di bawah tempurung. Habis, bagaimana lagi? Daripada  kisah ini tak terbagi, terus mengendap menjadi batu.
Semestinya  saya sudah menjadi penulis hebat. Sebab, dari remaja saya telah mulai melibatkan diri di dunia tulis-menulis. Nyatanya, pada usia mendekati kepala tujuh, kemampuan saya belum menunjukkan kemajuan berarti. Zaman itu kondisi lingkungan tidak mendukung. Saya tak punya uang buat membeli buku bacaan. Membeli buku tulis saja untuk keperluan sekolah susahnya setengah mati.
Awal tahun tujuh puluhan, saya mulai mengenal majalah bulanan Sahabat Pena yang diterbitkan oleh Perum Pos. Yakni, majalah khusus pelajar dan remaja non pelajar yang gemar berkoresponden.  Di samping berisi ilmu pengetahuan, Sahabat Pena juga memuat album sahabat dari  dalam dan luar negeri, disertai foto dan alamat lengkapnya.
Semenjak mengenal Sahabat Pena, sering saya makan pakai garam. Maklum, tinggal di tempat kos, mau membalanjakan duit untuk apa tiada yang larang. Kiriman orangtua saya gunakan untuk membeli perangko. Majalahnya nebeng ke tetangga kosan.  Dari sanalah saya mulai  menumbuhkan semangat untuk menulis.
Kegiatan tersebut terhenti setelah lulus sekolah, dan pulang ke kampung halaman yang jauh dari Kantor Pos. Â Kurang lebih 35 kilometer, melewati jalan raya yang masih hutan belantara.
Sekolah tamat, hobi menulis maherat. Lalu menikah, hidup melarat. Lengkaplah sudah penderitaan anak muda yang baru belajar mencari makan itu.
Setelah bekerja, disibukkan dengan urusan pekerjaan. Diselingi jadi tukang jahit sambilan untuk menambah ekonomi, mengasuh anak, plus urusan rumah tangga. Hobi menulis semakin tenggelam.
Tangan saya mulai gatal lagi untuk menulis. Tapi bingung. Mau berkirim surat kepada siapa, mau nulis apa. Anehnya,  ide sering melintas di kepala, saya tidak mampu menuangkannya di atas kertas. Saya miskin kata-kata. Boleh dikatakan nafsu besar selera berkurang. Maklum, tidak pernah berlatih, dan jarang membaca.  Paling selain sahabat pena (tidak rutin), membaca bahan ajar dan sekali-sekali  ada Majalah Suara Guru milik Sekolah. Koran tidak sampai ke desa.Â
Agustus 1986 tanpa sengaja terbeli  majalah "Fakta Plus", yang memuat kisah-kisah nyata. Pada halaman ke ... berapa saya tak ingat lagi, ada notifikasi. "Kamu punya kisah menarik? Kirim ke Redaksi  Fakta Plus Jalan Petamburan Nomor  1/2 Jakarta Barat Kode Pos 11420. Fakta Plus akan menyediakan bonus untuk setiap tulisan yang dimuat."
Ide mulai mundar mandir di kepala. Mau menulis tak punya mesin ketik. Akhirnya saya tulis pakai pena di atas kertas folio bergaris. Entah berapa lembar kertas terbuang percuma. Baru saja membaca paragraf pembukanya,  terasa murahan dan tidak berbobot. Hukumnya, disobek dan dibuang. Tabiat saya memang begitu. Apa-apa yang  dikerjakan ingin hasilnya perfect. Minimal menurut selera saya. Padahal, kemampuan saya memang segitu adanya.
Kurang lebih sebulan, konsep tersebut tuntas dalam dua halaman. Andaikan dibaca sekarang, pasti  saya termehek-mehek sendiri kayak nenek senewen.Â
Naskah selesai, kebingungan membadai. Seminggu lebih dokumen tersebut mengedap. Saya tak mampu menemukan judul yang pas.  Akhirnya dengan percaya diri, saya kirim juga ke alamatnya.  Saya tak berpikir entah majalah itu masih beroperasi atau tidak. Sebab, saya tidak memperhatikan, bulan dan tahun terbit  Fakta Plus yang saya jadikan acuannya saat itu. Saya juga tidak terlalu berharap naskah tersebut dimuat. Bahkan setelah dikirim, saya melupakannya sama sekali. Â
Ala, Mak. Simpel dan menarik. Alangkah bodohnya saya seminggu lebih berpikir tak menemukan judul sendiri. Senangnya sampai ke tulang. Bukan karena nilai uangnya, tapi karena tulisan saya telah dibaca halayak se Indonesia. Itu yang tergambar di pikiran saya saat itu.
Lucunya, setelah terbit sampai sekarang, saya sendiri tidak pernah membacanya. Namanya  majalah bekas. Mustahil setiap terbitan dijual oleh empunya. Mau beli baru, menjualnya di mana. Dua Toko Buku tergolong besar di kota Sungai Penuh sudah saya jelajahi. Yang satu bilang habis, lainnya menjawab kosong.  Â
Dapat apa uang 5 ribu? Oh, lumayan. Saya belikan selimut panas merek Swallow warna coklat seharga Rp 3.500. Masih bersisa, beli ubi jalar, dan bawang . Lengkaplah sudah kebahagiaan seorang penulis saat itu.
Belasan tulisan berikutnya melayang ke berbagai media. Semuanya fiksi. Alhamdulillah, sebagian  sukses dibalas dengan surat  penolakan. Ada juga yang hilang tak tentu rimbanya, mati tak tahu kuburnya.
Tahun 1992, order menjahit semakin laris. Semenjak itu latihan menulis saya stagnan. Sahabat Pena pun berangsur hilang dari daftar belanjaan bulanan. Sampai sekarang saya tak tahu lagi bagaimana nasibnya majalah murah meriah tersebut. Apakah masih terbit atau tidak.
Usaha tak pernah membohongi hasil. Dari sekian banyak kompetisi yang saya ikuti, jebol ke final dua kali. Yaitu, Lomba Karya Tulis Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran Tingkat Nasional. Â Pertama tahun 2002. Â Ah, senangnya tak terkira. Dan yang paling berkesan, seluruh finalis priode itu diundang ke Istana. Bertemu Ibu Megawati dan Taufik Kemas. Tahun berikutnya kalah, 2004 masuk final lagi, Ketemu SBY di Istora (GBK). Saya berpikir, inilah honor termahal yang saya terima dari hasil menulis.
"Ya, ialah. Tidak semua orang dapat meraihnya."
Setelah itu, tiga kali berturut-turut saya mengirim naskah. Ketiganya tereliminasi dan tak pernah diperhitungkan lagi.
Ajuan berikutnya ke golongan IV/C. Enam bulan menjelang pensiun, angka kreditnya menyusul. Sayangnya kurang dua poin. Karena kejar-kejaran dengan masa pensiun, tak ada kesempatan lagi untuk melakukan penelitian tambahan. Ya sudah. Â Saya cukup puas dengan golongan yang ada. Pencapain ini didukung oleh kegiatan menulis. Meskipun kemampuan saya berdiksi sangat miskin.
Yang membesarkan hati, di usia senja ini saya berkesempatan bergabung di Kompasiana, bertemu penulis-penulis jempolan. Secara tidak langsung saya banyak belajar dari tulisan-tulisan mereka yang super keren.
Terakhir saya mohon maaf sekiranya kisah ini terkesan ria. Niat saya hanya menyemangati  diri. Syukur-syukur  kaula muda juga termotivasi. Salam santun dari Pinggir Danau Kerinci.
****
Simpang Empat Danau Kerinci, 21092018
Nenek 4R
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H