Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Marah, Untung atau Buntung?

18 September 2018   20:37 Diperbarui: 20 September 2018   22:12 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu malam keduanya bertengkar hebat ( yang hebat Leni-nya). Sehingga tetangga kiri kanan dapat mendengar semua kicauannya dengan jelas. Sementara  Dodi diam seolah-olah  tak berdaya.

Di segi materi, kelihatannya keluarga itu berkecukupan. Punya rumah sendiri, motor, mobil, dan dua anak peremuan yang cantik.

Beberapa bulan kemudian, Dodi mulai jarang pulang. Sampai akhirnya 4 tahun terakhir tak pulang sama sekali. Tersiar kabar dia sudah menikah lagi. Kini Leni gigit jari. Mau menyusul, ranjang yang di sana sudah ditempati wanita lain. Lagi pula Dodi menolak tegas kehadiran Leni. Barangkali inilah yang disebut  bom waktu yang keburu meledak. 

Kisah lain saya alami sendiri. Beberapa bulan setelah pensiun, para guru diminta melengkapi bahan untuk menjemput uang tunjangan sertifikasi yang masih tercecer tahun-tahun belakangan. (baca belum dibayar). Termasuk kami guru-guru  yang baru pensiun.

Ketika berurusan di Kantor terkait, para karyawannya  terkesan cuek bebek. Kata si  A, tanyakan ke B. Kata B urusannya ke A. Saya balik lagi ke A. Katanya data yang saya maksud tersimpan di laptop. Laptopnya tidak dibawa. Saya balik lagi ke B. Minta penjelasan jalan keluarnya bagaimana. Si B menjawab sekenanya sambil terus ngerumpi bersama teman-temannya sesama perempuan.

Aduh, saya benar-benar kesal, sampai lepas kontrol. Saya marah karena selaku orang tua yang sudah pensiun diperlakukannya seperti bola. Tendang sana sepak sini. Semasa saya menjabat Kepala Sekolah dulu, mereka-mereka yang di ruang sana (meskipun beda oknum) pada sopan karena ada harapnya.  Setiap triwulan para kepala sekolah berurusan dengan uang BOS.

 Besoknya saya menghadap ke Kasi selaku atasan anak muda yang saya marahi kemarin.  Rupanya dia wajah baru, orang terdekat pejabat nomor satu  yang baru dilantik. Tujuan saya minta pentunjuk  dan arahan, dengan harapan si bos menasehati bawahannya itu agar bekerja dengan benar.

Apa yang terjadi? Bukannya mendapat pembelaan malah saya dituding kurang bijak, tak bisa beradaptasi. "Kalau berurusan jangan marah-marah. Dikasih dia uang rokok. Biar urusannya lancar."  Waduh, saya menjerit dalam hati. Sekelas Kasi ngomongnya begitu. Sekadar melihat data, bulan apa dan tahun berapa saja hak saya yang belum dibayar? Haruskah saya mengemis, menyogok. Kecuali mereka ikut berkeringat dengan mengetik atau membantu saya melengkapi bahan, sumpah saya ikhlas.

Semenjak kejadian itu saya tak pernah lagi datang ke kantor bersangkutan. Dan dengan sangat tidak ikhlas saya terpaksa kehilangan tunjangan sertifikasi dua bulan.  Besarnya dua kali gaji pokok. Lumayan gede menurut ukuran kantong saya. Padahal, sehari  bahkan sejam sebelum pensiun saya masih menjalankan tugas. Mau minta maaf? Harga diri, gengsi, bercampur egois menguasai diri. Masa nenek lansia bersembah sujud kepada anak muda 25 tahun.

Mula-mula ada penyesalan juga. Tapi, lama-lama saya pasrahkan saja kepada yang Maha Adil. Habis salah sendiri. Tak kuasa menahan emosi.

Berkaca dari dua kejadian di atas, berapapun besarnya manfaat yang diperoleh dari marah,  tetap saja lebih besar mudhoratnya.   Tak ada untungnya. Malah buntung, menyisakan penyesalan, dan  membelenggu diri sendiri dengan perasaan bersalah. Bagaimana seandainya suatu saat nanti saya harus berurusan lagi dengan orang dan kantor yang sama. Mungkin ini yang dimaksud Pak Sabar senjata makan tuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun