Menurut Mawardi Labay El-Sulthani, marah adalah, suatu luapan emosi yang meledak-ledak dari dalam diri seseorang yang dilampiaskan menjadi suatu perbuatan untuk membalas kepada orang yang menyebabkan dia marah. (referensimakalah.com, 2013/6).
Saya masih ingat almarhum guru saya Pak Sabarauddin. Beliau merepresentasikan marah sebagai salah satu fitrah yang melekat pada diri manusia dan merupakan Rahmat dari Yang MahaKuasa. Suatu saat dapat digunakan sebagai senjata untuk membela diri.
Sambil bercanda beliau meumpamakan. Andai kalian tak bisa marah, ntar isterinya dibawa kabur oleh lelaki lain. Besoknya dia kembali sambil tersenyum-senyum manis. Apa yang bakal terjadi? Pasti kalian membalasnya dengan senyum termanis pula bukan? Seraya berucap, "Terima kasih ya, Ma. Mama sudah pulang." Ruang kelas menjadi riuh.  "Tentu hal yang sama juga berlaku pada wanita.  Saat ketahuan lakinya punya anak tiga dengan selingkuhannya,  si isteri  memeluk mesra suaminya  dan berbisik manja, "Makasih ya, Pa. Anak kita nambah tiga. Tanpa  susah payah Mama hamil dan melahirkan."Â
Lebih lanjut sang guru menegaskan, "Tapi awas, jangan sampai senjata makan tuan! Yang setiap saat bisa melukai bahkan membunuh kamu sendiri."
Guyonan Pak Sabar ini mungkin benar. Logikanya memang begitu. Saya yakin seratus persen kondisi itu terjadi jika manusia tidak dilengkapi dengan sifat marah.
Terlepas dari benar salahnya interpretasi sang guru, saya tidak ambil pusing. Fokus saya adalah "marah", Â besar mana mudharat atau manfaatnya.
Sebagian kalangan berpendapat, marah itu berdampak positif bagi manusia. Asalkan dimanajemen dengan baik dan benar. Tidak semata-mata menonjolkan ego pribadi, merasa diri sendirilah yang paling benar.  Seseorang akan merasa lega setelah meluapkan kemarahannya. Biasanya orang tipe begini bersifat terbuka. Tidak memendamkan sendiri uneg-uneg yang mengganjal di hatinya,  yang  bisa saja menjadi bom waktu dan siap meledak kapan saja.
Menurut saya, yang namanya marah tak ada enaknya. Apa pun dalihnya. Katakanlah pelakunya bisa lega. Pihak yang dimarahi pasti terluka. Mendingan jika korbannya bersifat pemaaf. Kalau sebalaiknya, tidak jarang gara-gara kemarahan kecil meluluhlantakkan pergaulan yang telah dibina bertahun-tahun. Siapa yang mau dimarahi? Semutpun akan marah bila disakiti.
Sebagai pelajaran, ada baiknya simak ilustrasi berikut ini.
Leni dan Dodi (bukan nama sebenarnya) adalah  pasangan suami isteri yang relatif muda. Kelahiran 1974. Di mata tetangga,  Dodi suami yang baik, pendiam, penyabar,  dan tak banyak tingkah.
Leni ibu rumah tangga biasa, Dodi seorang PNS yang menempati posisi penting di kantornya dan bertugas di  luar kota. Ketika pulang sekali seminggu, nampaknya mereka mesra-mesra saja.  Kadangkala Leni berkunjung barang seminggu.Â
Suatu malam keduanya bertengkar hebat ( yang hebat Leni-nya). Sehingga tetangga kiri kanan dapat mendengar semua kicauannya dengan jelas. Sementara  Dodi diam seolah-olah  tak berdaya.
Di segi materi, kelihatannya keluarga itu berkecukupan. Punya rumah sendiri, motor, mobil, dan dua anak peremuan yang cantik.
Beberapa bulan kemudian, Dodi mulai jarang pulang. Sampai akhirnya 4 tahun terakhir tak pulang sama sekali. Tersiar kabar dia sudah menikah lagi. Kini Leni gigit jari. Mau menyusul, ranjang yang di sana sudah ditempati wanita lain. Lagi pula Dodi menolak tegas kehadiran Leni. Barangkali inilah yang disebut  bom waktu yang keburu meledak.Â
Kisah lain saya alami sendiri. Beberapa bulan setelah pensiun, para guru diminta melengkapi bahan untuk menjemput uang tunjangan sertifikasi yang masih tercecer tahun-tahun belakangan. (baca belum dibayar). Termasuk kami guru-guru  yang baru pensiun.
Ketika berurusan di Kantor terkait, para karyawannya  terkesan cuek bebek. Kata si  A, tanyakan ke B. Kata B urusannya ke A. Saya balik lagi ke A. Katanya data yang saya maksud tersimpan di laptop. Laptopnya tidak dibawa. Saya balik lagi ke B. Minta penjelasan jalan keluarnya bagaimana. Si B menjawab sekenanya sambil terus ngerumpi bersama teman-temannya sesama perempuan.
Aduh, saya benar-benar kesal, sampai lepas kontrol. Saya marah karena selaku orang tua yang sudah pensiun diperlakukannya seperti bola. Tendang sana sepak sini. Semasa saya menjabat Kepala Sekolah dulu, mereka-mereka yang di ruang sana (meskipun beda oknum) pada sopan karena ada harapnya. Â Setiap triwulan para kepala sekolah berurusan dengan uang BOS.
 Besoknya saya menghadap ke Kasi selaku atasan anak muda yang saya marahi kemarin.  Rupanya dia wajah baru, orang terdekat pejabat nomor satu  yang baru dilantik. Tujuan saya minta pentunjuk  dan arahan, dengan harapan si bos menasehati bawahannya itu agar bekerja dengan benar.
Apa yang terjadi? Bukannya mendapat pembelaan malah saya dituding kurang bijak, tak bisa beradaptasi. "Kalau berurusan jangan marah-marah. Dikasih dia uang rokok. Biar urusannya lancar." Â Waduh, saya menjerit dalam hati. Sekelas Kasi ngomongnya begitu. Sekadar melihat data, bulan apa dan tahun berapa saja hak saya yang belum dibayar? Haruskah saya mengemis, menyogok. Kecuali mereka ikut berkeringat dengan mengetik atau membantu saya melengkapi bahan, sumpah saya ikhlas.
Semenjak kejadian itu saya tak pernah lagi datang ke kantor bersangkutan. Dan dengan sangat tidak ikhlas saya terpaksa kehilangan tunjangan sertifikasi dua bulan.  Besarnya dua kali gaji pokok. Lumayan gede menurut ukuran kantong saya. Padahal, sehari  bahkan sejam sebelum pensiun saya masih menjalankan tugas. Mau minta maaf? Harga diri, gengsi, bercampur egois menguasai diri. Masa nenek lansia bersembah sujud kepada anak muda 25 tahun.
Mula-mula ada penyesalan juga. Tapi, lama-lama saya pasrahkan saja kepada yang Maha Adil. Habis salah sendiri. Tak kuasa menahan emosi.
Berkaca dari dua kejadian di atas, berapapun besarnya manfaat yang diperoleh dari marah,  tetap saja lebih besar mudhoratnya.  Tak ada untungnya. Malah buntung, menyisakan penyesalan, dan  membelenggu diri sendiri dengan perasaan bersalah. Bagaimana seandainya suatu saat nanti saya harus berurusan lagi dengan orang dan kantor yang sama. Mungkin ini yang dimaksud Pak Sabar senjata makan tuan.Â
****
Simpang Empat Danau Kerinci, 18092018.
Nenek 4R
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H