Saat menyebut nama Kerinci, yang terbayang di benak kita adalah puncak gunung tertinggi di Sumatera. Eh ..., tunggu dulu. Tidak hanya itu. Ada gaung yang lebih menggema mempromosikan Kerinci  di mata Internasional . Yaitu sebagai penghasil kayu manis terbesar sedunia. Masyarakat setempat menyebutnya kulit manis. Produknya dikenal dengan cassiavera.
Pertama menginjakkan kaki di tanah Kerinci, saya terperangah menyaksikan keindahan alamnya. Sekelilingnya dilingkungi gunung, yang  sebagian besar permukaannya ditutupi pohon kayu manis. Tak heran, Kerinci disebut-sebut sebagai daerah produsen kulit manis terluas di Indonesia. Negara pengimpor utaman kulit manis Indonesia adalah Amerika, Kanada  dan Jerman. (greeners.com. 13 Juni 2017) Â
Umumnya petani Kerinci menganggap menanam kayu manis adalah upaya menabung untuk masa depan. Menjelang  panen, mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari hasil bercocok tanam padi,  palawija, buah-buahan dan lain sebagainya.Â
Jika ada yang bertanya pekerjaan orangtuamu apa? Â Katakan saja berkebun di Kerinci. Tak perlu menyebut petani kulit manis. Pasti orang melabeli kamu anak orang kaya.
Zaman saya sekolah dahulu  (1972-1973), penghasilan orangtua, menentukan besaran uang bulanan yang akan dibayar di sekolah. Beberapa teman di kelas saya sering memanipulasi data. Mereka lebih senang  mengaku sebagai anak pedagang kecil daripada putra atau putri petani.
Sayangnya, kondisi di atas  cuma berlaku pada masa jayanya. Yakni tahun 60-80-an. Selepas itu, harga jual kayu manis berangsur turun.  Pernah anjlok ke titik terendah lima ribu rupiah perkilo. Ya, ampun .... Bayangkan suka duka mulai  mengelupaskan kulitnya dari pohon, membersihkan kulit luarnya, memanggulnya pulang naik turun gunung melewati jalan setapak, sungguh pekerjaan yang tidak mudah. Belum lagi urusan penjemuran.Â
Tidak heran, sebagian petani enggan merawat kebun kulit manis miliknya. Karena pembiaran tersebut satu persatu pohonnya  mati meranggas dibalut belukar. Tiada lagi petani yang tinggal di ladang. Apabila Anda melewati jalan darat dari Kerinci ke Jambi atau sebaliknya, antara Desa Bedeng Lima sampai ke perbatasan Kabupaten Merangin,  akan terlihat puing-puing pondok kebun. Sudah reot dan jungkir balik setelah ditinggal penghuninya.  Begitu juga di daerah Lumpur, dan sekitarnya.
Terhempasnya harga karet, berdampak buruk jugu pagi perekonomian petani di kabupaten lain dalam Provinsi Jambi. Kini, kebanggaan masyarakat Jambi pada benda busuk ini telah pupus.  Daripada asap dapur tidak mengepul, petani tetap saja menggores. Walaupun penghasilannya tidak seimbang dengan energi yang terkuras.  Sebab, menoreh pisau gores pada pohon karet itu bukan pekerjaan ringan. Mendingan menyadap di kebun  sendiri.  Kalau memburuh pada orang lain dengan sistem bagi hasil,  perharinya dapat berapa? Palingan dua puluh lima ribuan.
Ketika bertemu seorang petani sedang merawat kebun rawit, saya minta suami berhenti. Kami sempat  ngobrol dengannya. Saya tanyakan, mengapa tidak menanam cabe merah keriting? bukankah nilai jualnya lebih mahal?
Katanya, perawatan cabe rawit  tidak serumit cabe merah, yang obat-obatannya mahal.Â
Saat ini harga jual cabe merah keriting  di tingkat petani, dua puluh ribu per kilogram. Sementara harga rawit hanya tujuh belas ribu rupiah.
Saya tersenyum, mungkin beliau ini orang paham politik. Sampai membandingkan nilai rupiah terhadap dolar dengan harga komoditi. Saya sendiri tidak berpikir sejauh itu.
Dalam hati saya mengamini. Apa yang dikatakan pria setengah baya itu betul. Tingginya harga barang tani semasa krisis moniter 1998 Â saya juga ikut menikmati. Karena dikala itu lagi musim panen kopi.
***
Simpang Empat Danau Kerinci, 13082012
Nenek 4R
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H