Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kayu Manis dan Karet, Riwayatmu Dulu dan Kini

13 Agustus 2018   21:37 Diperbarui: 14 Agustus 2018   07:49 1458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: aktual.com (kiri atas) tribunnews.com (kiri bawah). Dokumen pribadi (kanan atas dan bawah)

Saat menyebut nama Kerinci, yang terbayang di benak kita adalah puncak gunung tertinggi di Sumatera. Eh ..., tunggu dulu. Tidak hanya itu. Ada gaung yang lebih menggema mempromosikan Kerinci   di mata Internasional . Yaitu sebagai penghasil kayu manis terbesar sedunia. Masyarakat setempat menyebutnya kulit manis. Produknya dikenal dengan cassiavera.

Pertama menginjakkan kaki di tanah Kerinci, saya terperangah menyaksikan keindahan alamnya. Sekelilingnya dilingkungi gunung, yang  sebagian besar permukaannya ditutupi pohon kayu manis. Tak heran, Kerinci disebut-sebut sebagai daerah produsen kulit manis terluas di Indonesia. Negara pengimpor utaman kulit manis Indonesia adalah Amerika, Kanada  dan Jerman. (greeners.com. 13 Juni 2017)  

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dahulu, masyarakat dari luar daerah berbondong-bondong datang dan menetap di Kabupaten Kerinci, membuka lahan untuk berkebun kulit manis. Mereka rela tinggal di hutan (baca: di kebun) selama belasan tahun. Sebab, mulai menanam sampai dipanen, membutuhkan waktu minimal 8 tahun. Makin tua usianya  produksinya semakin melimpah, kian bagus mutu, dan bertambah tinggi pula nilai jualnya.

Umumnya petani Kerinci menganggap menanam kayu manis adalah upaya menabung untuk masa depan. Menjelang  panen, mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari hasil bercocok tanam padi,  palawija, buah-buahan dan lain sebagainya. 

Jika ada yang bertanya pekerjaan orangtuamu apa?  Katakan saja berkebun di Kerinci. Tak perlu menyebut petani kulit manis. Pasti orang melabeli kamu anak orang kaya.

Zaman saya sekolah dahulu  (1972-1973), penghasilan orangtua, menentukan besaran uang bulanan yang akan dibayar di sekolah. Beberapa teman di kelas saya sering memanipulasi data. Mereka lebih senang  mengaku sebagai anak pedagang kecil daripada putra atau putri petani.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Tetangga saya yang sekarang sudah almarhum pernah bercerita, dengan hanya menjual satu hohon kulit manis di belakang rumah, dapat mengantarkannya pergi haji. Tentu saja tanaman tersebut sudah berusia tiga puluhan tahun.

Sayangnya, kondisi di atas  cuma berlaku pada masa jayanya. Yakni tahun 60-80-an. Selepas itu, harga jual kayu manis berangsur turun.  Pernah anjlok ke titik terendah lima ribu rupiah perkilo. Ya, ampun .... Bayangkan suka duka mulai  mengelupaskan kulitnya dari pohon, membersihkan kulit luarnya, memanggulnya pulang naik turun gunung melewati jalan setapak, sungguh pekerjaan yang tidak mudah. Belum lagi urusan penjemuran. 

Tidak heran, sebagian petani enggan merawat kebun kulit manis miliknya. Karena pembiaran tersebut satu persatu pohonnya  mati meranggas dibalut belukar. Tiada lagi petani yang tinggal di ladang. Apabila Anda melewati jalan darat dari Kerinci ke Jambi atau sebaliknya, antara Desa Bedeng Lima sampai ke perbatasan Kabupaten Merangin,  akan terlihat puing-puing pondok kebun. Sudah reot dan jungkir balik setelah ditinggal penghuninya.  Begitu juga di daerah Lumpur, dan sekitarnya.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Karena harga kulit manis tak kunjung naik, sebagian masyarakat  di daerah saya  (Kerinci bagian hilir) beralih ke tanaman karet yang lebih menjanjikan. Namun, apa hendak dikata. Usaha petani ibarat mengejar bayang-bayang. Kian dikejar semakin menjauh. Ketika karet siap dipanen, dikala itu pula nilai jualnya jatuh tersungkur. Beberapa tahun terakhir tak pernah bangun lagi.  Bahkan saat ini di Kecamatan Batang Merangin (lokasi kebun saya), getah basah tak laku. Yang kering cuma dihargai lima ribu rupiah perkilo, terlepas apakah harga tersebut permainan para tengkulak atau tidak.  

Terhempasnya harga karet, berdampak buruk jugu pagi perekonomian petani di kabupaten lain dalam Provinsi Jambi. Kini, kebanggaan masyarakat Jambi pada benda busuk ini telah pupus.  Daripada asap dapur tidak mengepul, petani tetap saja menggores. Walaupun penghasilannya tidak seimbang dengan energi yang terkuras.  Sebab, menoreh pisau gores pada pohon karet itu bukan pekerjaan ringan. Mendingan menyadap di kebun  sendiri.  Kalau memburuh pada orang lain dengan sistem bagi hasil,  perharinya dapat berapa? Palingan dua puluh lima ribuan.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Kembali ke daerah Kerinci Hilir. Kemarin saya ikut suami ke kebun. Sepanjang perjalan saya menemui pohon karet bergelimpangan telah ditebang, berganti dengan tanaman kopi. Ada pula yang beralih fungsi menjadi kebun cabe rawit. Dan perpaduan keduanya dengan sistem tumpang sari.

Ketika bertemu seorang petani sedang merawat kebun rawit, saya minta suami berhenti. Kami sempat  ngobrol dengannya. Saya tanyakan, mengapa tidak menanam cabe merah keriting? bukankah nilai jualnya lebih mahal?

Katanya, perawatan cabe rawit  tidak serumit cabe merah, yang obat-obatannya mahal. 

Saat ini harga jual cabe merah keriting  di tingkat petani, dua puluh ribu per kilogram. Sementara harga rawit hanya tujuh belas ribu rupiah.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
"Kalau mengharap karet, tak akan bisa menyekolahkan anak, untuk makan dan kebutuhan sehari-hari susah tercukupi,"  keluh seorang petani lainnya, yang kebetulan sedang lewat dan bergabung dengan kami. "Tahun 1998 harga dolar naik, barang hasil tani ikut naik. Sekarang, tingginya nilai tukar dolar petani dapat apa?" ujarnya  spontan.

Saya tersenyum, mungkin beliau ini orang paham politik. Sampai membandingkan nilai rupiah terhadap dolar dengan harga komoditi. Saya sendiri tidak berpikir sejauh itu.

Dalam hati saya mengamini. Apa yang dikatakan pria setengah baya itu betul. Tingginya harga barang tani semasa krisis moniter 1998  saya juga ikut menikmati. Karena dikala itu lagi musim panen kopi.

Sumber Ilustrasi: Pembibitan tanaman Jambi.
Sumber Ilustrasi: Pembibitan tanaman Jambi.
Dua tahun terakhir harga kulit manis mulai merangkak naik. Saat ini di tingkat petani per kilonya rata-rata dua puluh tiga ribu rupiah kualitas sedang. Warga Kerinci menyambutnya dengan antusias.  Mereka kembali beramai-ramai menanam. Akankah ke depan kulit manis kembali pada masa keemasannya? Semoga Allah mengabulkan harapan ibu/bapak tani dan kita semua. Amin.

***

Simpang Empat Danau Kerinci, 13082012

Nenek 4R

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun