Kembali ke daerah Kerinci Hilir. Kemarin saya ikut suami ke kebun. Sepanjang perjalan saya menemui pohon karet bergelimpangan telah ditebang, berganti dengan tanaman kopi. Ada pula yang beralih fungsi menjadi kebun cabe rawit. Dan perpaduan keduanya dengan sistem tumpang sari.
Ketika bertemu seorang petani sedang merawat kebun rawit, saya minta suami berhenti. Kami sempat  ngobrol dengannya. Saya tanyakan, mengapa tidak menanam cabe merah keriting? bukankah nilai jualnya lebih mahal?
Katanya, perawatan cabe rawit  tidak serumit cabe merah, yang obat-obatannya mahal.Â
Saat ini harga jual cabe merah keriting  di tingkat petani, dua puluh ribu per kilogram. Sementara harga rawit hanya tujuh belas ribu rupiah.
"Kalau mengharap karet, tak akan bisa menyekolahkan anak, untuk makan dan kebutuhan sehari-hari susah tercukupi,"  keluh seorang petani lainnya, yang kebetulan sedang lewat dan bergabung dengan kami. "Tahun 1998 harga dolar naik, barang hasil tani ikut naik. Sekarang, tingginya nilai tukar dolar petani dapat apa?" ujarnya  spontan.
Saya tersenyum, mungkin beliau ini orang paham politik. Sampai membandingkan nilai rupiah terhadap dolar dengan harga komoditi. Saya sendiri tidak berpikir sejauh itu.
Dalam hati saya mengamini. Apa yang dikatakan pria setengah baya itu betul. Tingginya harga barang tani semasa krisis moniter 1998 Â saya juga ikut menikmati. Karena dikala itu lagi musim panen kopi.
Sumber Ilustrasi: Pembibitan tanaman Jambi.
Dua tahun terakhir harga kulit manis mulai merangkak naik. Saat ini di tingkat petani per kilonya rata-rata dua puluh tiga ribu rupiah kualitas sedang. Warga Kerinci menyambutnya dengan antusias. Â Mereka kembali beramai-ramai menanam. Akankah ke depan kulit manis kembali pada masa keemasannya? Semoga Allah mengabulkan harapan ibu/bapak tani dan kita semua. Amin.
***
Simpang Empat Danau Kerinci, 13082012
Nenek 4R
Lihat Sosbud Selengkapnya