Menunaikan haji ke tanah suci adalah idaman setiap umat muslim. Paling tidak sekali dalam seumur hidup. Namun tak semua orang dapat melakukannya dengan beragam alasan. Diantaranya, belum mampu di segi biaya, dan tidak kuasa alasan kesehatan, usia, dan lain sebagainya.
Beruntunglah umat muslim yang dapat menjalankannya. Terlebih zaman sekarang, mengingat banyaknya peminat, calon yang sudah mendaftar harus sabar menunggu dalam waktu yang cukup lama. Enaknya, proses pendaftarannya sangat mudah. Kesempatan pun terbuka untuk semua umat Islam. Apakah dia tukang kebon buta huruf, tukang parkir, tukang tahu, dan tukang-tukang lainnya sampai ke pejabat tinggi Negara.
Era enam puluhan, berhasil menunaikan ibadah haji sudah merupakan pencapaian luar biasa dalam kehidupan seorang muslim.  Karena selain susahnya mengumpulkan dana, untuk mendaftar saja sulitnya minta ampun. Ada tiga orang yang pernah curhat dengan saya.  Kalau beliau-beliau itu sudah melunasi setoran. Namun gagal berangkat. Saat saya tanyakan nyangkutnya di mana, mereka tidak dapat menjelaskannya.  Yang pasti, zaman itu  informasi amat jauh dari jangkauan. Ketiganya mengaku tertipu oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Sepersen pun uangnya tidak dikembalikan.
Sekalipun lolos dari penipuan, untuk mencapai kota Mekah itu melalui perjuangan yang maha berat. Butuh  waktu berbulan-bulan  naik kapal laut. Tak heran sebelum calon jamaah berangkat, kaum kerabat melepaskan  mereka dengan  doa dan ritual-ritual eksklusif. Â
Sekarang  zaman telah berubah. Seremoni  tersebut masih dipelihara. Sebagian berpendapat, tidak afdhol keberhajian seseorang tanpa adanya  upacara pelepasan formal dari keluarga. Tradisi ini telah  membudaya dalam masyarakat Muslim, khususnya di Kabupaten Kerinci.
Upacara pormalitas yang di maksud adalah,
- Walimatus safar
![Dokumen pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/07/27/img20180720094521-5b5adc695a676f70604f64f3.jpg?t=o&v=770)
![Dokumen pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/07/27/img20180720095539-5b5adcb6d1962e2cb0100c63.jpg?t=o&v=770)
Namun, masih ada juga yang merasa belum khusuk.  Mereka rela mengeluarkan dana jutaan rupiah  buat melaksana ulang  di kediamannya masing-masing. "Yang penting hati puas. Uang dapat dicari. Bukankah jauh-jauh hari kita sudah siap lahir dan batin?" ungkap salah seorang calon Jamaah.
- Batale
![Masyarakat Kerinci sedang mendendangkan tale khusus pelepasan Calon Jamaah Haji (youtube.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/07/27/youtube-com-5b5ade0ecaf7db473346b482.jpg?t=o&v=770)
Biasanya, sebulan menjelang tanggal keberangkatan, secara bergantian grup tale menawarkan diri untuk bertale di kediaman calon jamaah. Personelnya ibu-ibu dan bapak-bapak yang bersuara merdu. Dimulai setelah shalat Isya sampai tengah malam.
Dahulu, pertama masuk ke daerah Kerinci, saya pernah menangis  sendiri di dalam selimut. Teringat badan sebatang kara di rantau orang.  Kenapa tidak. Dari jauh sayup-sayup irama tale membelah sunyi.  Entah kenapa.  Saat itu bisa-bisanya diri ini terbawa perasaan. Padahal saya belum mengerti pantun apa yang mereka dendangkan, jaraknya pun jauh entah berapa kilo meter dari kediaman saya, yang berbatas dengan lahan sawah.
Rupanya,  tukang tale berkisah tentang perjalanan haji dan rangkaian-rangkaian  ibadah yang akan diamalkan kelak selama berada di Tanah Haram. Sedangkan di antara  orang-orang yang berkisah sendiri belum pernah menginjakkan kakinya di tanah Arab. Mereka hebat  luar biasa.
Setiap desa punya grup tale tersendiri. Makanya hampir tiada gelap tanpa tale melewati malam bulan Zulkaedah .
Mulai zaman saya (2009), dalam kegiatan manasik, pihak penyelenggara haji dalam hal ini karyawan Kementrian Agama yang ditunjuk, mengimbau agar kegiatan pertalean dihentikan. Minilal dikurangi. Cukup satu atau dua kali saja. Alasannya, agar tidak mengganggu tidur calon jamaah yang dikhawatirkan berefek buruk pada kesehatannya.
Larangan tersebut suatu kemustahilan. Siapa yang berani menolak, jika ada tamu yang mau datang.Â
- Pelepasan resmi dari masyarakat
![Dokumen pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/07/27/101-2143-jpg-5b5adea7caf7db2ada2c4142.jpg?t=o&v=770)
Sempai di Masjid acara, dimulai dengan kata sambutan berisi pesan dan pelepasan dari perwakilan ulama atau tetua. Ditutup dengan doa dan bersalam-salaman. Azan berkumandang untuk kedua kalinya di depan pintu Masjid, mengantarkan jamaah beranjak pergi.
Dari Masjid, calon jamaah diarak lagi ramai-ramai dengan salawat dan zikir menuju jalan raya. Di sana mobil angkutan siap menanti membawa rombongan ke ibu kota kabupaten. Selanjutnya bergabung dengan jamaah dari kecamatan lain.Â
Acara belum berakhir. Masih ada agenda yang harus mereka ikuti. Yakni, kegitan pelepasan oleh Bupati dan Kepala Kantor Kementrian Agama Kerinci.
Sebagai informasi tambahan, gara-gara ikut berpartisipasi, pada hari keberangkatan jamaah haji tidak seorang pun murid SD yang  hadir ke sekolah (khusus desa saya). Sampai berbusa pun mulut Bapak dan Ibu Guru menyerukan, agar tetap ke sekolah dan belajar seperti biasa, mereka tidak mengubris. Kondisi ini telah berlangsung sejak dahulu kala. Sehingga telah membudaya dan mendarah daging. Semoga tahun ini  hal serupa tidak terulang. Karena  rencana  jamaah bertolak dari kabupaten, Selasa malam tanggal 7 Agustus 2018. Berarti pelepasan dari desa dilaksanakan Selasa sore, di luar jam sekolah.
![Dokumen pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/07/27/101-2139-jpg-5b5add08bde575186a379d23.jpg?t=o&v=770)
Pertanyaannya, dengan adanya ritual begini padhilah apa yang diperoleh jamaah, selain pahala ibadah haji yang  diberikan oleh Allah SWT? Â
Berkaitan dengan butir 1, saya mengutip dari artikel Hengki Ferdiansyah (NU Online, 14 Agustus 2016), Tradisi walimah safar yang dilakukan masyarakat Nusantara  sangat baik. Pada saat itulah momen berbagi kepada sesama masyarakat atas kesempatan dan nikmat yang diberikan Allah SWT. Dan ajang meminta doa kepada sanak saudara supaya diselamatkan selama menjalankan ibadah haji. Apa lagi tidak semua orang diberikan kesempatan untuk berhaji.
Khusus butir 2-3, saya belum menemui ayat atau hadis yang menghalalkannya. Justru sebagian ulama menentang, dan menganggapnya bid'ah karena tidak disyari'atkan oleh Islam. Yang penting, pulang dari Mekah, jamaah membawa dan memegang teguh predikat Haji Mabrur. Menunjukkan perubahan sikap ke yang positif, baik beribadah kepada Sang Khalik maupun akhlakul karimah terhadap sesama manusia. Sehingga menjadi contoh tauladan bagi muslim lainnya. Demikian saran salah seorang ulama yang pernah saya ikuti ceramahnya sebelum berangkat haji sembilan tahun lalu.
Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI