Tahun pelajaran 2018/2019 telah dimulai. Para orangtua siswa  kelas satu menyambutnya dengan suka cita. Khususnya pasangan muda yang pertama melihat anaknya pakai seragam Sekolah Dasar.  Dan lebih spesial lagi bagi suami isteri yang terlambat dikaruniai momongan. Normalnya tahun ini anak pertama mereka mengenakan pakaian putih biru, ternyata baru berseragam putih merah.
Kebahagian juga terpancar pada wajah siswa itu sendiri. Pada hari tersebut  mereka mulai memasuki lingkungan baru. Membaur dengan banyak teman dari latarbelakang yang beragam.
Bagi anak-anak perkotaan, momen tersebut mungkin tidak berarti apa-apa. Karena sebelumnya mereka telah terbiasa berasimilasi dengan individu lain selama menempuh pendidikan di Taman Kanak-Kanak. Namun, oleh anak-anak pedesaan hal itu baginya sangat asing. Karena segala hal yang berkaitan dengan aktivitas pendidikan berawal dari Sekolah Dasar.
Lain dengan zaman saya pertama mengajar dahulu (1977). Anak-anak diantar orangtuanya ke sekolah dalam keadaan kosong. Memegang pensil, berpakaian rapi, maaf, pakai celana dalam bagi anak perempuan, sampai cara membersihkan ingus yang benar. Semuanya bermula dari sekolah. Dalam hal ini, peran guru kelas satulah yang menjadi tumpuan.
Saya mengagumi salah satu teman guru wanita saya, yang sekarang sudah almarhumah. Semasa itu, beliau satu-satunya tenaga andalan untuk mengajar di kelas satu.  Kelebihannya, dia tidak sensitif terhadap  yang jorok. Apabila anak-anak terluka tersebab berantam atau terjatuh, atau luka ketika gotong royong sekolah, beliaulah yang menanganinya. Membersihkan darah, mengunyah daun ubi untuk obat tempel dan membalutnya sampai darah tak lagi mengalir. Demikian juga jika ada siswa yang beol dan kencing dalam celana di kelas. He he.Â
Yang lebih salut lagi, almarhumah juga cuek terhadap wewangian. Wangi apa itu? Â Apa lagi kalau bukan aroma menyengat. Sumbernya dari cairan putih beku yang keluar dari lubang telinga beberapa siswa. Â Dalam satu lokal, minimal ada satu bocah yang organ pendengarnya berkasus.
Terbiasa berkutat di kelas IV dan V, mula-mula saya sangat risih dan canggung. Tak ubahnya seperti mengalengi anak ayam. Dimasuk satu yang lainnya keluar. Lagi enak-enaknya saya  ngomong tentang A, susul menyusul siswa bertanya tentang A. Sebelum dijawab satu-persatu, mereka terus berteriak dan berteriak. Ibuk ...! Ibuk  ...! Padahal jawaban yang diberikanan cukup mewakili karena pertanyaannya sama.  Sering pula saya yang mereka perintahkan untuk menulis tugas pada halaman bukunya. Wah ..., Saya nyaris menyerah kalah.
Berhubung sekolah kami kekurangan guru dan ruang belajar, siswa kelas I yang berjumlah 32 orang saya sendirian menangani. Yang menambah pusing tiga belas keliling, oknum orangtua seenak jidat menitipkan anaknya yang baru berusia 3 atau 4 tahun. Alasannya, dia nangis minta ikut kakaknya ke sekolah. "Tak apa-apa ya, Bu. Daripada di rumah dia main tanah."
Aduh, Mak. Ini dia. Beban berat senggulung batu. Dan, dilema buah si malakama. Diterima 'entah' ditolak pasti saya dicap sombong. Sebab, tabiat begini telah mendarah daging cukup lama. Guru kelas I sebelumnya (almarhumah) tidak pernah mempermasalahkannya.
Kebahagiaan dan kebanggaan saya berlanjut ketika tahun pelajaran berakhir dan seterusnya. Hal ini membuat saya bertahan  selama sebelas tahun.Â
Terakhir mohon maaf kepada semua pihak. Kisah ini saya tulis bukan bermaksud untuk menjelek-jelekkan pribadi atau kelompok tertentu. Tujuannya agar rekan guru zaman now dapat memaknai penderitaan sesepuhnya terdahulu dalam menjalankan tugas. Khususnya yang mengabdi di desa terpencil. Jika baik silakan dipetik hikmahnya untuk dijadikan pembelajaran. Sekiranya buruk dan tak berguna abaikan saja.
***
Simpang Empat Danau Kerinci, 18072018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H