Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lika Liku Kehidupan Mengawali Empat Puluh Empat Tahun Pernikahan

9 Juli 2018   22:39 Diperbarui: 10 Juli 2018   05:13 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: newteknoes.com

Malam ini, tanggal 09 Juli pukul 09.20 menit tahun 2018 pernikahan saya baru berusia  44 tahun. Sebuah perjalanan yang lumayan panjang  penuh onak dan duri.

Sebelum menikah, ayah kandung saya berpesan mistik. Beliau memprediksi  jika rencana ini diteruskan, nasib rumah tangga saya akan membaik dalam dua tahun awal. Selepas itu, bersiap-siaplah untuk menderita.  

Saya menanggapinya dengan santai. Yang penting ibu dan ayah sambung saya beserta orangtua pihak calon suami merestui.  Lain dari itu lewat. Hehe .

Sesuai kondisi ekonomi orangtua saya saat itu, acara pernikahan kami berlangsung  sangat sederhana.

Seminggu kemudian kami pindah ke sebuah rumah milik almarhum mertua laki-laki. Sepuluh kilometer dari kampung saya. Alasannya, selain suami buka warung kopi  dan makanan di sana, hal ini memang   telah menjadi kesepakatan kami berdua dari  awal pacaran.

Banyak bibir yang  mencibir. "Eh ... hebat kau mengawini anak orang miskin. Bisa diboyong sesuka hati."

Waduh. Sedihnya minta ampun. Sampai sekarang kata-kata tersebut masih terngiang ditelinga saya. Ada juga perasaan marah. Namun nurani dan akal sehat saya mengakui bahwa diri ini memang anak orang miskin.

Sumber ilustrasi: newteknoes.com
Sumber ilustrasi: newteknoes.com
Alhamdulillah, saya memaafkan mereka. Agar tidak menjadi beban baginya menghadap Sang Khalik.  Mereka tidak salah. Kerena  tradisi orang kampung saat itu mengharuskan, pasangan yang baru menikah perlu bimbingan dari pihak orangtua perempuan sampai sang  keluarga baru bisa mandiri.

Saya berpikir, ibu dan bapak akan terseok-seok jika memaksakan diri untuk  melakukannya. Mengingat dengan jumlah anak tujuh kehidupan keluarga kami saat itu super morat-marit. Misi besar kami untuk memisahkan diri  adalah meringankan beban orangtua.  Bahkan kami berdua sepakat membawa serta seorang adik perempuan saya yang dikala itu kelas tiga Sekolah Dasar. Efeknya, lagi-lagi suami saya diejek.  Baru seminggu betumah tangga, dah punya anak gadis satu.

Apa yang kami alami pasca menikah, tak seindah yang dibayangkan saat pacaran. Uang hasil jualan di warung banyak tercatat dalam buku. Setelah berutang pelanggan kabur, belanja di tempat lain. Ketemu di jalan mereka menghindar. Kalau kebetulan terserobok, buang muka. Kayak tidak kenal. Yang berbasa-basi juga ada. Menyapa, tetapi  biasa-biasa saja, seolah-olah lupa dan dilupa-lupakan. Kami bangkrut, riwayat warung  tamat.

Untungnya, saya punya keterampilan menjahit. Suami bekerja di ladang, saya mencari makan. Buka kebun cabe, mengandalkan tulang  empat kerat alias tanpa modal. Mula-mula lahannya agak  luas, kian lama semakin sempit/kecil karena beraninya menyangkul bagian tengahnya saja. Takut hariamau. Dengan sendirinya, rumput dari pinggir timur barat utara selatan menyerbu ke tengah.

Ketika panen, harga jual cabenya lumayan mahal. Jika dihitung-hitung tetap saja rugi. Tidak seimbang dengan tenaga dan waktu. Entah berapa setel pakaiannya menjadi korban. Selain dipakai bekerja, juga membuat orang-orangan dipasang di tengah ladang. Katanya menakut-nakuti simpase.  Kami coba menanam kacang tanah gagal. Pasalnya,  belum berpengalaman. Kata tetangga pemilik kebun sebelah, jarak tanamnya terlalu rapat.

Dua puluh Mei 1975 anak pertama kami lahir. Kesulitan hidup semakin mencekik. Untuk biaya bidan saja sebagiannya kami harus ngutang.

Tuhan telah menyusun skenariao kehidupan kami. Beliau menguji kami dalam bentuk lain. Persis usia satu bulan, putri cantik kesayangan kami tersebut meninggal diserang tetanus pusat.

Empat bulan kemudian, oleh ibu  mertua kami diarahkan untuk membuka lahan. Urusannya dimulai dari  membabat belukar. Saya juga ikut bekerja.  Rencananya mau menanam kopi.  Kuatnya hanya  seminggu. Hitung punya hitung, sekian tahun baru dapat hasil. Akhirnya suami menyerah kalah.

Bagaimanapun kondisi rumah tangga saya, tak pernah sampai ke telinga emak dan bapak. Saya juga berpantang mengeluh. Apalagi minta bantuan beras atau uang. Malahan ketika beliau berkunjung, saya berusaha memberikan oleh-oleh alakadarnya.  Di hadapan mereka kami tetap enjoy. Jahitan laris.  Meskipun sebenarnya  sekali-sekali diwarnai cekcok. Maklum, masa beradaptasi.

Tak sanggup mengikuti irama kerja orang kampung, akhirnya suami minta izin pergi merantau ke Dumai. Dia berjanji, setelah mendapat pekerjaan saya diminta menyusul.

Tanda-tanda kemujuran mulai berpihak. Hari kedua kehadirannya di sana dia langsung diterima di PT Sari Repatri Karya. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perbengkelan kapal (dok kapal). Kemudahan ini dia peroleh bukan tanpa alasan. Selain cocok dengan latar belakang pendidikannya, yakni  STM Perkapalan, sebelumnya dia pernah magang pada perusahaan yang sama di Tanjung Priok Jakarta. Di Dumai itu cabangnya.

Saat suami berangkat, dia meninggalkan sejenjang sawah yang padinya  mulai menguning. Saya sedih tiada terperi. Tinggal di rantau orang tanpa sanak keluarga dalam kondisi tak punya apa-apa. Kecuali sebuah mesin jahit tua merek Singer pemberian orangtua saya. 

Ujung-ujungnya separo dari padi tersebut habis dimakan sapi. Dengan menggunakan tenaga upahan,  sisanya saya sabit terus berasnya  dijual. Uang hasil penjualannya saya beli lagi beras untuk dijual pada pedagang pengecer. Judulnya berdagang beras.

Baru dua trip berjualan, saya dapat kiriman dari suami. Selembar Wesel Pos bertuliskan angka lima belas ribu rupiah. Di bagian salah satu pinggirnya ada pesan. Manfaatkan uang ini sebaik mungkin. Bulan depan dikirim lagi. Tak percaya tapi nyata. Orang semiskin saya punya uang segede itu.  Zaman itu, gaji guru/PNS golongan 2/a baru diangkat cuma sembilan ribu rupiah.

Ketika keluar dari kantor Pos saya sempat senewen. Senyum-senyum sendiri tanpa ada yang menemani. Habis, saking senangnya mulut ini tak bisa bertaut. Maunya tersenyum terus.

Dasar bloon tak ada jiwa bisnis. Yang terlintas di benak saya saat itu membeli perhiasan emas. Bukannya untuk menambah modal dagang supaya lebih gede. He he. 

Senewen episode ke dua berlanjut ke tempat tidur. Semalaman saya tak bisa lelap. Pikiran melanglang buana dari asia ke eropah. Akhirnya menukik di kota Sungai Penuh. Di sana sebelumnya saya menamatkan pendidikan PGA 6 tahun (Sederajat SMA). Saya pengen kuliah di PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama). Jurusan apa saja yang penting diterima. Dari kecil cita-cita saya  memang menjadi guru. Sempat menyandang status guru honorer di PGA 4 tahun beberapa bulan. Setelah hamil langsung berhenti. Untuk menjadi Guru Agama  PNS jauh panggang dari api. Karena  setelah pengangkatan pasca G 30 S, pemerintah tak pernah lagi mengangkat guru Agama Negeri.

Tanpa minta izin suami, besoknya saya berangkat. Sampai di Sungai Penuh, penerimaan mahasiswa baru PGSLP sudah selesai. Kegiatan perkuliahan telah dimulai. Peluang yang ada, Kursus Pendidikan Guru  (KPG). Sederajat kelas tiga SPG. Ijazahnya sama  dengan Ijazah SPG.   Persyaratan masuk, tamatan  SMA sederajat, dan lulus tes seleksi.  Lama kursusnya sepuluh bulan. Semasa itu, pemerintah sedang gencar-gencarnya membangun SD Inpres, yang sangat membutuhkan tenaga Guru SD.

Setelah lulus seleksi, saya beritahukan suami melalui surat pos. Beliau menyambutnya antusias. Seluruh biaya,  meluncur lancar.

Selama menjalin hubungan jarak jauh, saya sering tak enak hati. Rasa cemburu, dan rindu bercampur aduk.  Hanya  melalui surat kami dapat melukiskan kegalauan masing-masing. Setiap akhir catur wulan, saya mengahabiskan masa libur sekolah di sana. Seperti anak kuliahan saja. Eh, ketemu sesekali lumayan romantis tapi malu-malu asam.

Tak dapat dimungkiri, selama berada di samping suami, saya menyemburui seorang wanita cantik. Ada gelagat yang kurang baik. Hati ini memang keramat, dapat membaca yang tersirat, mampu merasakan yang tidak  teraba. Risiko punya suami ganteng.  He he. Berjauhan pula. Saat mulai berpisah,  usia pernikahan kami belum genap dua tahun.  Masih beroma pengantin. Tapi cinta dan sayang terpaksa direnggut tersebab keadaan.

Singkat cerita, setelah enam bulan bertugas pada  salah satu SD di Kerinci, saya memberontak. Minta suami keluar dari kota Dumai, bergabung dengan saya. Entah rela atau tidak, dia menyetujuinya.

Di tempat yang baru dia merintis usaha yang belum pernah digelutinya sama sekali. Berdagang pakain jadi  pekan ke pekan. Sorenya menyelesaikan kuliahnya yang masih terbengkalai. Dia diangkat menjadi guru pada salah satu SMP di Kecamatan Danau Kerinci dalam  usia 33 tahun. Dan mengakhiri masa baktinya 31 Desember tahun 2013.

Cerita ini saya tulis untuk mengenang perjuangan saya dalam memulai membangun rumah  tangga. Ini baru lembar pertama. Apakah perjalanan selanjutnya semulus jalan tol? Jawabnya, tidak. Hidup ini tidak segampang yang diucapkan motivator.  Empat puluh empat tahun bukan sebentar. Ada pasang surut dan pasang naiknya. Semoga apa yang saya ungkapkan ini bisa dipetik hikmahnya oleh banyak orang. Yang baik dijadikan pelajaran yang buruk abaikan saja.

***

Simpang Empat Danau Kerinci, 09072018

Hj. Nursini Rais

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun