Namun, seiring perkembangan zaman, lebaran tahun ini pemandangan tersebut sudah jauh berkurang. Fokusnya beralih ke main tembak-tembakan menggunakan pistol mainan. Kecuali di kalangan cowok tanggung usia SMP yang masih melakoninya.
Rata-rata anak  lelaki 4-12 tahun  di desa bersangkutan punya pistol mainan. Namanya orang kampung. "Tinggi duni, alias berpacu dalam melodi". Jika putra tetangga punya sesuatu, anak lainnya pasti ikutan.Â
Kalau tidak, semangat hidup dan peranan orangtuanya patut dipertanyakan. Orang sanggup beli kenapa dia tidak. Seakan harga diri seorang ayah dapat diukur dengan nilai satu unit pistol mainan. Â
Sementara bocah-bocah batita, didampingi orangtuanya naik odong-odong dan kereta api mini. Dahulu, kedua mainan ini hanya dinikmati oleh anak-anak kota. Atau anak desa sengaja diajak orangtuanya ke taman bermain khusus anak-anak yang cuma terdapat di perkotaan.
Selain itu, ada hal baru yang menjangkiti anak-anak di desa setempat pada lebaran tahun ini. Mereka mulai mempopulerkan istilah te ha er. Mengganti  sebutan angpao  yang sebelumnya tersohor di kalangan masyarakat TKI dari Malaysia. TKI ini pula yang memanjakan anak-anak dengan angpao.
Ketika berkunjung ke pusat keramaian lebaran desa, saya bertemu serombongan cowok kecil kelas empat Sekolah Dasar. Semuanya  pernah belajar dengan saya di kelas satu sebelum memasuki masa pensiun empat tahun lalu.Â
Satu di  antaranya sedang merokok. Belum sempat saya membidiknya dengan  kamera HP, rokok tersebut langsung dibuang dan diinjak oleh penikmatnya.  Saya tanyakan, "Mana rokokmu?"
"Tidak ada, Bu." Jawabnya.
Bergantian para bujang ingusan tersebut mengulurkan tangan sambil mengucapkan selamat lebaran. Kemudian rame-rame mereka mencandai saya. "Bu ...! minta te ha er. Bu ...! minta te ha er."  Sembari bergantungan pada kedua tangan saya.
"Ayo, ke rumah ibu! Pasti  dikasih." Saya tertawa riang. Menyesal juga, karena tidak membawa uang receh.