Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dua Tradisi Aneh Merayakan Idul Fitri

23 Juni 2018   23:39 Diperbarui: 24 Juni 2018   04:47 1498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pinterest.com/defiamsyah

Puasa usai, lebaran selesai. Kini yang terpapar panggung-panggung kosong. Setelah beberapa malam digoyang oleh  musik dan penyanyi ternama sejagat kabupaten ini, dalam rangka memeriahkan Idul Fitri tahun 1439 Hijriah.  

Jalan-jalan menuju tempat wisata Sungai Penuh-Danau Kerinci, Sungai Penuh-Kayu Aro dan sebaliknya, yang dipadati oleh kendaraan roda empat dan dua, sudah mendekati kondisi normal. Jauh beda dengan H+1 sampai H+5, macet terjadi di mana-mana. 

Sebagian besar pemudik telah kembali ke habitatnya. Tentu dengan isi dompet yang mulai menipis. "Habis, uang seumpama kumis,  setelah dicukur ia tumbuh lagi,"  ujar salah seorang sahabat saya ketika pamit mau berangkat ke rantau yang dia tuju.

Memang wajar, sekali dalam setahun umat Muslim itu memberikan reward kepada jiwa raganya dengan mudik ke tanah kelahiran, atas keberhasilannya menahan haus lapar, dan segala hal yang membatal serta mengurangi pahala puasa. Sekalian mengingat kenangan masa kecil bersama orangtua dan sanak keluarga. Meskipun sebenarnya berlebaran di kampung itu biasa-biasa saja.

Khusus di tempat saya misalnya. Tidak ada yang berubah dalam merayakan  Idul Fitri dari tahun ke tahun. Dengan pakaian serba baru atau bagus, masyarakat mengawali pagi Syawal dengan shalat  Idul Fitri berjamaah di masjid. Perantau (TKI Malaysia) yang berlalu-lalang, menyantap masakan yang enak-enak, serta bersilaturrahmi ke rumah kerabat pun tetap menyemarakkan hari kemenangan umat muslimin dan muslimat tersebut.

Pendek kata, kondisi ini  masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Dan,  berlaku juga di tengah masyarakat di desa sekitar. Namun, ada dua tradisi unik yang patut dicermati dan membudaya di desa yang berlokasi di pinggir Danau Kerinci ini dalam merayakan Idul Fitri.

  • Ibu-Ibu Tampil dengan Perhiasan Norak

Sumber ilustrasi: Facebook Hj. Rukiah Suud
Sumber ilustrasi: Facebook Hj. Rukiah Suud
Zaman sekarang,  gaya orang kota dan orang desa dalam berpakaian beda-beda tipis. Meskipun ciri udiknya tak dapat disembunyikan.  Salah satunya, suka pakai perhiasan emas. Kalau mau tahu diantara warga yang paling banyak berinvestasi emas, lihat saja pada pagi lebaran. Jam-jam sibuk pergi dan pulang dari masjid menunaikan shalat Idul Fitri. Saat itulah para wanita desa setempat mengenakan perhiasan emas yang banyaknya luar biasa. Sebagiannya adalah TKI dari Malaysia.

Bukan berarti pada hari biasa mereka tidak pakai perhiasan. Sebagiannya punya hobi berhias pada saat tertentu saja. Yang lainnya bahkan mempertuankan logam mulia tersebut sebagai bagian dari kesehariannya. 

"Kalau tak pakai emas, serasa ada yang kurang lengkap," aku salah seorang teman dekat saya ketika saya tegor dia agar tidak memakai perhiasan terlalu menjolok.  Leher, tangan, dan jemarinya dipenuhi emas yang  luar biasa banyak dan gede-gede pula.

Apakah mereka tetap aman? Hanya yang bersangkutan yang merasakannya. Sepengetahuan saya, pernah terjadi tiga kali perampokan. Syukur alhamdulillah. Tidak memakan korban nyawa.

Pengakuan sering dikuntit orang tak jelas, beberapa kali saya dengar ceritanya dari yang bersangkutan. Anehnya, masih juga ada pribadi yang berprinsip bahwa kharismanya sebagai wanita terbangun  oleh berapa beratnya timbangan emas yang bergelayut di tubuhnya.

  • Anak-Anak Sibuk dengan Tradisi Anehnya

Sumber ilustrasi: entertaenment.harianterbit.com
Sumber ilustrasi: entertaenment.harianterbit.com
Jika emak-emak menikmati perhiasannya,  bocah-bocah asyik dengan tradisi kekanak-kanakannya. Pakaian serba baru, diberikan uang jajan dan bebas membeli apa saja. Lucunya, selama suasana lebaran anak lelaki usia TK-SD diizinkan merokok oleh orangtuanya, di dalam dan luar rumah. Kebiasaan ini telah berlangsung sejak lama secara turun temurun.

Namun, seiring perkembangan zaman, lebaran tahun ini pemandangan tersebut sudah jauh berkurang. Fokusnya beralih ke main tembak-tembakan menggunakan pistol mainan. Kecuali di kalangan cowok tanggung usia SMP yang masih melakoninya.

Rata-rata anak  lelaki 4-12 tahun  di desa bersangkutan punya pistol mainan. Namanya orang kampung. "Tinggi duni, alias berpacu dalam melodi".  Jika putra tetangga punya sesuatu, anak lainnya pasti ikutan. 

Kalau tidak, semangat hidup dan peranan orangtuanya patut dipertanyakan. Orang sanggup beli kenapa dia tidak. Seakan harga diri seorang ayah dapat diukur dengan nilai satu unit pistol mainan.  

Sementara bocah-bocah batita, didampingi orangtuanya naik odong-odong dan kereta api mini. Dahulu, kedua mainan ini hanya dinikmati oleh anak-anak kota. Atau anak desa sengaja diajak orangtuanya ke taman bermain khusus anak-anak yang cuma terdapat di perkotaan.

Selain itu, ada hal baru yang menjangkiti anak-anak di desa setempat pada lebaran tahun ini. Mereka mulai mempopulerkan istilah te ha er. Mengganti  sebutan angpao  yang sebelumnya tersohor di kalangan masyarakat TKI dari Malaysia. TKI ini pula yang memanjakan anak-anak dengan angpao.

Ketika berkunjung ke pusat keramaian lebaran desa, saya bertemu serombongan cowok kecil kelas empat Sekolah Dasar. Semuanya  pernah belajar dengan saya di kelas satu sebelum memasuki masa pensiun empat tahun lalu. 

Satu di  antaranya sedang merokok. Belum sempat saya membidiknya dengan  kamera HP, rokok tersebut langsung dibuang dan diinjak oleh penikmatnya.  Saya tanyakan, "Mana rokokmu?"

"Tidak ada, Bu." Jawabnya.

Bergantian para bujang ingusan tersebut mengulurkan tangan sambil mengucapkan selamat lebaran. Kemudian rame-rame mereka mencandai saya. "Bu ...! minta te ha er. Bu ...! minta te ha er."  Sembari bergantungan pada kedua tangan saya.

"Ayo, ke rumah ibu! Pasti  dikasih." Saya tertawa riang. Menyesal juga, karena tidak membawa uang receh.

Barangkali istilah THR ini mem-booming gara-gara lebaran tahun ini  PNS dan Pensiunan telah memperolehnya dari pemerintah. Sehingga sebutan tersebut familiar di bibir anak-anak kampung. Wallahu a'lam bish shawab.

***

Simpang Empat Danau Kerinci, 23062018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun