Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siswa Nakal, Aset Berharga bagi Kebahagiaan Guru

2 Mei 2018   19:43 Diperbarui: 3 Mei 2018   04:35 3370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto siswa kelas VI SD No. 124/III Tahun Pelajaran 1981/1982 (dokumen pribadi)

"Anak-anak di sini tidak bisa diajak berlemah lembut, Bu," Ujar kepala sekolah. Terus keluar.

Ilustrasi: Foto tryning Senam Kesegaran Jasmani di halaman sekolah, sebelum berangkat mengikuti Lomba ke Kecamatan Tahun 1990 (dokumen pribadi)
Ilustrasi: Foto tryning Senam Kesegaran Jasmani di halaman sekolah, sebelum berangkat mengikuti Lomba ke Kecamatan Tahun 1990 (dokumen pribadi)
Ketika pulang, mulai dari pintu kelas/ruang guru sampai ke jalan raya, anak-anak berteriak ramai sekali. "Pak! Pak! Buk! Buk! Pak! Pak!" Saya ternganga-nganga, memahami situasi mengapa mereka begitu. Berantam tidak bergurau pun bukan.

Saya tanyakan kepada Bu Guru kelas satu. Rupanya, mereka mengajak Bapak dan Ibu Guru mampir. "Singgah, Pak! Singgah Buk!"

Di sekolah tersebut ada enam guru. Delapan termasuk saya dan Kepala Sekolah. Setiap siswa meneriaki ajakan, "Singgah Pak!" atau "Singgah Buk!" terhadap semua guru satu per satu. Waduh, bisingnya minta ampun. Pekikan berakhir setelah yang diteriaki naik sepeda dan menjauh.

Hari berikutnya, jam istirahat pertama saya berhadapan dengan ketegangan lain. Siswa berantam saling keroyok. Masalahnya berawal dari salah satu anak perempuan menangis gara-gara diganggu siswa nakal. Oleh saudara laki-lakinya, pelaku dihajar rame-rame. Gayung pun bersambut. Pihak lawan mengambil peluang.

Hebatnya, mereka sangat mudah disuruh berdamai. Air matanya kering, marah pun berakhir.

Lain peristiwa hari pertama, dua, dan tiga, beda pula pada hari ke empat. Waktu istirahat ke dua, beberapa siswa laki-laki makan pisang mentah secara berjamaah. Termasuk kedua kubu yang bertikai kemarin. Saya tanyakan, dapat dari mana?"

"Di kebun belakang, Bu." Jawabnya serentak.

Astaghfirullahalazdim. Kiranya, tanpa menggunakan parang, dan tiada pula seizin pemiliknya, sebatang pisang tumbang sampai ke akar-akarnya. Buahnya mereka lahap bersama-sama. Yang tersisa hanya kulitnya bergelimpangan di pekarangan sekolah.

Bapak dan Ibu Guru hanya tersenyum-senyum simpul. "Percuma dilarang. Menghabiskan energi," kata Pak Guru kelas tiga.

Rata-rata nasib buah pisang di belakang sekolah tersebut berakhir di dalam perut mereka. Pelakunya pun turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Sampai akhirnya anak cucu tanaman tersebut musnah ditelan kepunahan.

Namun di balik karakter siswa yang keras, tersimpan potensi yang luar biasa. Kecerdasan mereka susah ditandingi. Dimana-mana bertanding, baik bidang olah raga dan seni, maupun lomba mata pelajaran, peserta dari sekolah saya sulit dikalahkan. Minimal menjadi pemenang kecamatan. Dan beberapa kali sampai ke provinsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun