Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siswa Nakal, Aset Berharga bagi Kebahagiaan Guru

2 Mei 2018   19:43 Diperbarui: 3 Mei 2018   04:35 3370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto tryning Senam Kesegaran Jasmani di halaman sekolah, sebelum berangkat mengikuti Lomba ke Kecamatan Tahun 1990 (dokumen pribadi)

Sebenarnya, dusun ini tidak terosilir. Akses jalan cukup memadai, walaupun belum beraspal. Sesuai zamannya, transportasi saja yang belum lancar. Bagi orang berada dan mempunyai sepeda, mungkin kondisi begini tiada masalah. Pulang perginya cuma tiga puluh kilometer.

Besoknya, pukul setengah delapan kurang lima menit, saya sudah berada di sekolah yang dituju. Lokasi gedungnya sangat strategis. Di lereng bukit. Di bawahnya terhampar sawah yang luas. Belum lagi lika liku penampakan danau, yang seakan bertekuk di kaki gunung Raya. Kondisi ini sejenak dapat melupakan kegundahan yang menggaggu saya tadi malam. Ditambah keramahan guru dan siswanya.

Seperti sekolah lainnya, para siswa berpakaian semaunya (belum berseragam). Masih banyak juga yang nyeker. Beberapa siswa perempuan kelas enam, rambutnya disasak gaya Ibu Pejabat. Alisnya hitam tebal, bibir dan pipinya merah menyala. Dilengkapi pula dengan eyeshadow beraneka warna. 

Tubuhnya mulai menunjukkan ciri-ciri remaja. Siswa laki-laki pun demikian. Ada yang nada suaranya sudah agak berubah. Bibir atasnya mulai ditumbuhi kumis-kumis tipis. Tapi pakai celana pendek dan baju apa adanya. Ada juga yang mengenakan kopiah hitam seperti bapak-bapak akan melaksanakan salat Jumat.

Pukul tujuh tiga puluh besi plat mobil dipukul. Anak-anak berhamburan ke halaman, terus melaksanakan Upacara Bendera. Saya baru sadar waktu itu hari Senin. Giliran menyanyikan lagu Indonesia Raya, saya tertawa di dalam perut. 

Kedengarannya aneh bin lucu, iramanya jauh melenceng dari nada aslinya. Vibranya bergetar mirip suara pedangndut A. Rafiq. Lagu penutup, Garuda Panca Sila. Tidak hanya beda irama, syairnya ada yang tidak nyambung. Ptriot proklamasi, mereka ganti dengan brok brok brok la ma si la.

Sebelum masuk kelas, Ibu Guru kelas satu merazia siswa perempuan. Yang tidak pakai celana dalam, diberikan pengarahan, agar besoknya hal serupa jangan terulang lagi.

Sebagai orang baru, saat itu saya menjadi pusat perhatian warga sekolah. Anak-anak memandang saya dari ujung kaki sampai ke kepala. Tiba-tiba seorang siswa perempuan kelas lima bertanya, "Bu, dimana Ibu beli baju cantik begini? Saya tersenyum-senyum manis memeram malu.

Karena belum ada pembagian tugas, kepala sekolah minta saya masuk ke kelas lima. Kata beliau sekalian menjajaki dan menguasai panggung. "Ibu mau mengajar apa, terserah."

Baru beberapa patah kata saya memperkenalkan diri, salah satu siswa laki-laki berbadan gaban batuk. Disusul yang lain. Selanjutnya saling bersahutan. Sehingga kelas menjadi riuh seperti festival batuk tingkat kabupaten. Saya gugup, akhirnya tidak kuat bertahan. Terus ngadu kepada atasan.

Begitu kepala sekolah masuk, "par, par, par," mereka dikasih bogem mentah orang per orang. Laki-laki perempuan tanpa kecuali. Saya sedih dan serasa bersalah menyaksikan pemandangan begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun