Akhir Mei tahun 1977. Pertama saya menginjakkan kaki di Dusun (baca: desa) C, kecamatan Danau Kerinci Kabupaten Kerinci. Kurang lebih tiga kilo meter dari bibir sebelah utara Danau Kerinci. Karena posisinya di pinggir sawah, lingkungannya tak jauh dari aroma bebek, padi, dan jerami.
Di sana saya numpang nginap di sebuah rumah berlantai semen. Dindingnya papan yang sudah menghitam dimakan usia. Pemiliknya, asli keturunan penduduk setempat, pedagang emas sukses di luar daerah. Saking gedenya, apabila kita berbicara di dalamnya, pantulan suara menggaung seperti sedang berada di dalam masjid. Dapurnya dua kali ukuran rumah orangtua saya.
"Semasa kecil, kami belajar sepeda dan main bola di sini," aku salah satu anak lelaki sambil menunjuk ke ruang tamu. Siswa kelas V SD tersebut putra tetangga sebelah yang ikut menyambut kehadiran saya saat itu.
Kamarnya ada tiga. Masing-masing dihuni oleh satu keluarga, ahli waris yang berhak. Saya di kamar depan, bergabung bersama seorang janda tua dengan satu anak, dua cucu.
Habis, tak ada pilihan. Dengan bantuan seorang kenalan, sebelumnya saya sudah berusaha mencari pondokan lain. Menurutnya, ada dua tempat yang telah dia tawari. Keduanya menolak menampung saya. Dengan alasan, saya bukan asli penduduk sana. "Kalau uhang kito, suhoh dio kuhin. Jika dari suku A, mintok mauf akau ideak." ("Kalu orang kita, suruh dia ke sini. Jika dari suku A, mohon maaf saya tidak mau.") Begitu sahabat tersebut melaporkan ke pada saya.
Terakhir saya tahu. Rupanya, dari sekian jumlah penduduk dusun tersebut, ada satu yang berasal dari Palembang. Dia menikah dengan gadis setempat. Sisanya, anak negeri itu asli. Jika ditambah saya, pendatangnya jadi dua.
Saat sore menjelang senja, kepala saya dipadati suka dan duka. Suka, karena cita-cita saya menjadi guru sudah terwujud. Selembar kertas dari pejabat gubernur provinsi Jambi telah di tangan. Judulnya 'Surat Keputusan', mengangkat saya sebagai Guru di Sekolah Dasar Nomor 124/III di dusun itu. Duka, sebab terpisah dari suami tercinta yang bekerja dan berdomisili jauh di rantau lain.
Semuanya terasa asing. Mandi di sungai aliran irigasi, lebarnya kira-kira satu meter, hulunya entah dipakai oleh berapa dusun. Air minum berasal dari sepetak kolam enceng di belakang rumah.
Semalaman saya tak bisa tidur. Pikiran ini dipadati oleh hasutan. Lebih baik pulang ke kampung saja atau kembali ke Dumai Riau, berkumpul bersama suami. Namun naluri keteguhan mengantar bisik, agar tetap bertahan dan bertahan. Endingnya, saya menangis dalam selimut.
Belum pernah terbayang di benak saya akan terlempar sejauh itu. Jika hendak ke ibu kota kabupaten (Sungai Penuh), harus pagi sekitar pukul delapan. Menunggu jeep treler lewat dari Bangko. Itulah satu-satunya transportasi dari ibu kota provinsi. Pulangnya pukul tiga sore. Numpang mobil itu lagi.