"Hah?" Mata saya melotot sebesar kelereng. Perlahan dia mundur dan kembali ke bangkunya dengan wajah biru menahan malu.
Di lain hari, teman sekelasnya kehilangan satu kotak pensil warna. Hampir saja pemiliknya pingsan tersebab menangis. Maklum, benda kesayangannya itu dikirim orangtuanya dari Malaysia. Kondisinya  baru pula.
Semua siswa minta laci meja dan isi tasnya digeledah. Lagi-lagi barang tersebut ditemukan dalam ransel Dara. Berikut uang tiga puluh lima ribu rupiah. Saya tidak bertanya perihal duit tersebut. Walaupun bagi anak kelas satu  di desa belum lazim memegang uang sebanyak itu. Barangkali dia terbiasa dengan jatah jajan yang melimpah.  Karena orangtuanya punya toko serba ada yang sangat laris. Pendek kata, dia anak orang berada. Tiada pantas melakukan perbuatan tercela begitu.
Anehnya, Dara tidak membantah apa yang telah dituduhkan padanya. Tiada pula menolak untuk mengembalikan harta temannya yang telah dia curi tersebut.
Masih dalam semester yang sama, warga kelas satu kehilangan buku paket. Kebetulan, salah satu wali murid melihat Dara memasukkannya ke dalam tas dia. Saya belum percaya begitu saja, tidak marah juga. Soalnya, bukan harta pribadi. Â Milik negara dan anak-anak Indonesia. Tetapi saya penasaran. Siapa sebenarnya punya ulah. Â
Sehari kemudian saya todong seluruh murid kelas satu  dengan cara persuasif. "Siapa di antara kalian yang membawa buku Ibu pulang, tolong dikembalikan ya! Kalau  tidak, Ibu minta dibacakan Surah Yasin kepada jamaah Masjid. Biar pencurinya gila terus mati."
Besok paginya, begitu saya masuk kelas dia menyambut saya dengan  sopan. Bibirnya tersenyum-senyum masam. "Bu ! Ini kitab. Saya nemunya  di bawah meja,"  katanya seraya menyerahkan dua buku cetak berbeda judul.
"Terima kasih. Dua ya?"
"Iya, Bu."
Dalam hati saya menyayangkan mengapa anak secantik ini akhlaknya amat buruk. Saya ingat salah seorang guru saya yang sudah almarhumah.  Beliau pernah menyenggol masalah ini  ketika kami belajar Psikologi puluhan tahun silam. Kata beliau, prilaku begini sebenarnya bukan mencuri, tetapi semacam kelainan jiwa yang disebut kleptomania.
Senada  dengan itu, Puput Adi Sukarno yang dirillis Bisnis.com (04 Februarai 2014) memaparkan, kleptomania itu berbeda dengan mencuri. Penderitanya mengambil barang lebih pada saat dorongan atau munculnya hasrat yang tidak tertahankan.  Meskipun barang tersebut tidak berharga sama sekali. Kalau mencuri, pelakunya beraksi menunggu situasi di sekitarnya aman terkendali.