Mencuri alasan miskin, mungkin hal yang lumrah. Namun, jika profesi ini  ditekuni oleh orang berpunya, agak sulit dipercaya. Tetapi saya pernah menyaksikannnya dengan mata kepala sendiri.
Pertama, semasa tinggal di tempat kos 48 tahun yang lalu, saya berteman dengan Ira (bukan nama sebenarnya). Dia putri tetangga sebelah. Orangnya cantik, semampai, kulitnya kuning langsat. Setahu saya ibu bapaknya orang baik dan  tidak miskin amat. Suatu sore, dia mengajak saya ke tempat Sofi teman sekolahnya. Ketika kami datang, Sofi sedang menunggu toko pakaian jadi milik saudara lelakinya.
Di sela Sofi melayani pengunjung, sigap Ira menyambar selembar sweater kuning. Zaman itu, hanya  orang-orang tertentu yang sanggup membelinya.
Saya hanya pura-pura tidak tahu. Tetapi tubuh saya menggigil, karena takut dia tepergok oleh empunya. Setelah baju tersebut masuk ke dalam tasnya, sempat pula  kami berlama-lama di te ka pe. Seakan  dirinya tidak berbuat kesalahan apa-apa. Celakanya, masih dalam hitungan minggu, dia mengajak saya ke toko itu lagi. Bergaya pakai sweater baru hasil curiannya.  Alasan mau minjam buku.
Puluhan tahun kemudian, secara kebetulan saya dan Ira bertemu di ibu kota kabupaten. Saat itu dia sedang membeli duku. Masyaallah .... Â Di tengah sibuknya pedagang tersebut melayani pembeli lain, dikala itu pula oknum PNS itu memasukkan beberapa genggam duku ke dalam kresek belanjaannnya. Padahal dia sudah kaya. Suaminya orang penting (baca: banyak proyek) di kantoran. Rumahnya bagus, duitnya banyak. Gelang dan cincin emasnya berkinyauan kayak toko emas berjalan
Dara juga ikutan menyerbu. Namanya anak kelas satu SD. Bayarannya paling selembar lima ribuan. Nyinyirannya selangit sebumi. "Bu! Saya sudah bayar lima ribu." Siswa lain tak mau kalah, "Saya dua ribu." Bayangkan kalau ada sepuluh anak membual begitu. Rata-rata lima teriakan per orang saja, berarti ada lima puluh suara nyap nyep nyop membombardir telinga. Â Riuhnya seperti apa? Coba!
Setelah dihitung-hitung, jumlah uang yang terpungut kurang lima ribu dari yang seharusnya. Peristiwa serupa terjadi dua kali. Untuk selanjutnya saya tak mau tertipu lagi. Saya amati tingkah cewek kecil yang mencurigakan tersebut dari awal sampai akhir.
Modusnya seperti biasa. Di tengah aktivitas saya mencatat nama siswa yang membayar, Dara berujar, Â "Bu! Tulis nama saya."
"Kamu bayar berapa?"
"Lima ribu." Jemari tangan kanannya mengembang. "Itu duit saya," tambahnya seraya menunjuk ke tumpukuan rupiah di meja saya.