Mohon tunggu...
Nurshakti Palapa
Nurshakti Palapa Mohon Tunggu... Insinyur - Peneliti Energi

PENERBIT NURSHAKTI PALAPA, ,

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bom Waktu Kebangkrutan Indonesia, Negara Net Pengimpor Migas dengan Politik Subsidi Migas

17 September 2019   07:08 Diperbarui: 17 September 2019   07:14 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

POLITIK SUBSIDI ENERGI MIGAS  seharusnya dapat dialihkan ke dana pembangunan infrastruktur energi yang memperbaiki EFISIENSI dan keberlanjutan energi itu sendiri seperti NEGARA wajib membangun UNDERPASS/ FLYOVER yang mengurangi KEMACETAN di persimpangan JALAN dan jalur KERETA API sehingga efisiensi energi akan tercipta untuk sistem transportasi.  

NEGARA wajib mengadakan bus-bus yang layak pariwista mancanegara dan membangun terminal yang menciptakan angkutan umum mennjadi pilihan utama, bukan angkot atau sepeda motor yang seperti kembali ke zaman purba. NEGARA wajib membangun sistem kereta api di seluruh nusantara, bukan hanya di pulau Jawa dan Sumatra, kereta listrik COMMUTER AC  harus ada di setiap provinsi dan kota Indonesia, jadi harus ada di 546 pemda nusantara.

Tentunya mengurangi DEFISIT NEGARA yang semakin lama semakin menjadi akut sejak tahun 2012 akibat DEFISIT MIGAS.

Ada korelasi penyebab meledaknya subsidi BBM MIGAS untuk listrik dengan margin negatif usaha PT PLN (Persero) dari tahun 2004-2018 sekarang di seluruh provinsi Indonesia (33 provinsi). Penyebab margin negatif usaha listrik PLN ini adalah:

Besarnya HARGA GAS ALAM yang diterima PLN 2-3 x lipat harga gas pasaran dunia.

Masih terus dioperasikannya pembangkit listrik BBM DIESEL dengan bauran 8% sementara rata-rata bauran PLTD dunia hanya 3%. Dengan kata lain Indonesia boros minyak padahal sudah menjadi net pengimpor minyak.

Berdasarkan data yang dipublikasikan setiap tahun oleh Badan Energi Dunia (IEA), pada kurun waktu tahun 2016, Indonesia masih mengeluarkan anggaran negara subsidi listrik untuk usaha ketenagalistrikan sebesar USD 11.2 milyar atau setara Rp 150 triliun/tahun 2016, sementara negara-negara VIETNAM, THAILAND, FILIPINA sejak tahun 2010 telah berhasil menghentikan beban negara subsidi listrik untuk usaha ketenagalistrikannya dengan tetap mempertahankan TARIF  yang terjangkau.

Diindikasikan penyebab subsidi listrik adalah akibat INEFISIENSI sistem pembangkit listrik PLN.

Menurut penelitian konsultan Nurshakti Palapa Energy (NPE-ENERGY DOT COM), adanya inkonstitusional kebijakan UU terkait energi dan listrik, serta fragmentasi kebijakan yang sangat menonjolkan ego sektoral sangat mendominasi pola pengelolaan energi Indonesia di era reformasi 1998-2019.

Contoh di Malaysia (2001) dan negara lain sudah memberlakukan KOMISI ENERGI YANG INDEPENDEN, sementara Indonesia dengan DEWAN ENERGI (2007) hanya berfungsi sebagai PENASEHAT menteri ESDM yang tidak punya anggaran untuk melakukan efisiensi infrastruktur energi.

Kebijakan subsidi energi harus tepat sesuai dengan UU No 30/2007 tentang Energi, Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi : "Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak mampu". Kebijakan subsidi tidak boleh disalahgunakan.

Sedangkan Badan Energi Dunia IEA menyarakan politik subsidi energi dunia dihapuskan karena akan membebani fiskal dan membuat negara tersebut semakin berat memberikan kesejahteraan rakyatnya.

Untuk itu seperti yang disarankan oleh Badan Energi Dunia IEA, maka efisiensi sistem pembangkit adalah referensi utama tujuan ketahanan energi, sementara pemikiran anti-liberalisasi energi dan anti-kapitalisme energi seharusnya tetap berpatokan kepada konsep efisiensi energi, karena ketahanan(keamanan) energi mempunyai nilai risiko 10x lipat merusak dibandingkan dengan ketahanan pangan dalam merusak ketahanan nasional ( Michael Ruppert, 2008).

Metode penelitian ini adalah analisa statistik spss dengan obyek data statistik laporan tahunan produksi listrik (kWh/GWh/TWh) per negara (IEA), bauran pembangkit listrik(%) per negara(IEA), statistik listrik per provinsi(BPS), yang dikumpulkan dari buku statistik listrik BPS 2005-2015, buku statistik PLN 2004-2017, statistik listrik ESDM 2004-2015. Subyek penelitian ini adalah analisa margin pendapatan tarif rata-rata PLN(Rp/kWh) terhadap biaya produksi pembangkit atau BPP (Rp/kWh)

Laporan bauran pembangkit IEA berbagai negara diambil sebagai model ideal. Model bauran dibuat berdasarkan model bauran pulau Jawa yang berhasil menghentikan pembangkit diesel PLTD ( bauran PLTD 1%) sehingga angka bauran ini harus diikuti oleh pulau-pulau besar dan demand listriknya besar seperti Sumatra, Kalimantan,Sulawesi. Seterusnya harus dibangun infrastruktur energi dan listriknya mengikuti pulau Jawa untuk menghentikan operasi PLTD.

Jika negara ASEAN dan dunia lain berhasil membuat pembangkit gas lebih ekonomis secara komersial maka Indonesia seharusnya juga dapat membangun infrastruktur transportasi /distribusi gas yang mendukung kelayakan operasi pembangkit gas ini secara ekonomis komersial.

Dengan menguji model update dengan 2 faktor hipotesa menggunakan metoda statistik spss dengan data kelayakan efisiensi energi dunia/harga pasar dunia (IEA) pada laporan laba-rugi PLN 2004-2017 dan data BPS input/output PLN 2004-2016, maka total subsidi listrik sekitar Rp 650 triliun 2004-2016 di era SBY dan Jokowi ini seharusnya dapat dihapuskan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun