Mohon tunggu...
Nur Septiani
Nur Septiani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Halo, aku adalah seorang penulis lepas. Kesenanganku pada dunia tulis menulis membuatku senang untuk belajar menulis di mana saja. Aku aktif di instagram dengan nama @septianiamzar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berdukalah! Lalu Bersukarialah!

10 September 2022   15:07 Diperbarui: 10 September 2022   15:16 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by unsplash.com

Karya ini telah dituliskan sebelumnya di instagram pribadi saya dengan judul yang sama, tetapi ada beberapa kalimat di instagram yang lebih dipersingkat.

(2013)

Ahmad yang telah berusia 20 tahun, menghabiskan waktunya berjualan keripik singkong. Ia hidup sebatang kara setelah Mama dan Bapaknya dipanggil lebih dulu oleh Tuhan melalui tragedi kecelakaan di jembatan merah.


Ahmad kerap kali menjelaskan sebuah cara-cara atau tutorial pada orang-orang yang membeli dagangannya. Tak sedikit yang menganggapnya sebagai orang sinting karena terlalu sering berbicara.

"Cara agar keripik ini bisa garing."
"Hei, dengarkan saya." Ahmad sedikit memaksa seorang pria sebayanya untuk mendengarkan perkataannya dan ia mulai menjelaskan kian teratur dan jelas.

"Padahal bukan kamu yang buat, kan?"

"Kamu belum tahu kalau Mamaku sudah meninggal? Jadi bukan dia lagi yang membuat ini semua. Tapi aku." Pria tadi cukup terenyuh mendengarnya, membuatnya tak lagi berbicara.

"Sebaiknya kamu ke psikiater, Mad."

*

Di dalam sebuah kampung kecil kumuh, Ahmad bertemu dengan anak-anak SD bernama Aji, Duta, Imas dan Lukas yang hendak membeli keripik singkong.

"Kalian semua harus tahu cara agar tidak malu saat berjualan di usia muda." Ahmad yang lihai membungkus keripik singkong mulai merunutkan cara-cara yang dimaksudnya.

"Menjual keripik tidak keren, Mad," tutur Lukas dan yang lain turut membenarkan.

"Itu menurut orang-orang."

"Selanjutnya cara membuat orang tuamu bahagia." Ahmad hendak melanjutkan penjelasannya, tetapi anak-anak tadi memilih pergi lebih cepat. Mereka merasa omongan Ahmad adalah omong kosong belaka.

"Dia saja belum hidup benar," kata Duta pada teman-temannya. Mereka semua terbahak.

"Jelaskan padaku saja Ahmad." Seorang gadis cantik berambut ikal yang dikenal sebagai Ayunda mendekati Ahmad.

"Bungkuskan 3 kilo, yah. Di rumah lagi banyak keluarga. Sambil bungkus, jelaskan padaku tentang cara membahagiakan orang tua kita."

"Aduh senyumnya." Ahmad membatin sambil menundukkan kepalanya. Ia kembali memaparkan langkah demi langkah yang dimaksudnya.

"Tapi kamu sendiri bahagia, Mad?" tanya Ayunda dengan hati-hati.

"Iya, dulu, sebelum kepergian Mama dan Bapak."

*

Jembatan Merah terasa suram sejak kejadian itu. Tak ada yang lebih pedih, dibandingkan harus mengingat-ingat kembali momen kedua orang tua Ahmad meninggal di jembatan ini.

"Cara agar tidak membebani orang terdekat." Suara Ahmad terdengar bergetar.

"Menghilanglah dari dunia."

"Bapak ...Ibu ..., maaf aku menyusulmu"

"Berdukalah kalian. Berdukalah, lalu bersukarialah atas kepergian si malang ini."

Ahmad melepas dirinya terjatuh ke dalam sungai yang mengalir deras di bawah jembatan merah itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun