Seketika ruangan pesantren kecil itu riuh dengan teriakan takbir yang silih berganti. Energi yang demikian besar yang menghempaskanku pada kenangan masa lalu. Dj vu.
Sekian tahun lalu. Ratusan purnama silam. Aku ingat betul ketika itu aku terpuruk dalam kondisi serupa. Bedanya, di dalam sebuah gereja, jauh di timur Indonesia sana. Tepatnya di salah satu bangku di baris terdepan.
Kala itu seorang pendeta tampak berkhutbah di depan jemaatnya. Sebagian berwajah garang dengan pita merah di tangan dan kepala. Beberapa tampak membawa parang dan tombak tajam.
"Tuhan tahu kita yang paling benar. Kita domba terpilih, dan merekalah para domba tersesat. Maka akan runtuh langit jika kita tidak bernyali menghabisi mereka. Malu kita pada anak cucu kita kelak jika Kerajaan Kristus tidak tegak di tanah-Nya sendiri. Beranikah kalian, Wahai Laskar Kristus, untuk tegakkan Kerajaan Kristus?!"
"So pasti, Bapa. Haleluya!"
"Haleluya!"
"Pukimai mereka. Para pendatang yang tak tahu diri!"
Energi kebencian yang besar, luncuran kata-kata bertenaga, dan teriakan perjuangan yang sama-sama atas nama Tuhan. Tak sadarkah mereka bahwa Tuhan itu satu? Kenapa harus berseteru?
Sebagai butiran debu yang juga makhluk Tuhan, kendati tak dianggap oleh manusia, aku bingung dengan kelakuan para manusia itu. Andai aku punya kepala, mungkin aku akan pening memikirkannya. Untung saja Tuhan tak kasih aku kepala sehingga aku tak perlu pusing memikirkan mereka, para makhluk ekstremis. Tuhan takdirkan aku terbang saja, berkelana terhembus angin. Berpindah-pindah ke mana Tuhan menakdirkanku hinggap dan menetap.
Senandika ini mungkin akan terus berlanjut hingga jika seorang sastrawan mungkin akan bisa menuliskan curahan butiran debu ini sebagai novel berjudul "Ratapan Butiran Debu".Â
Meskipun aku tak yakin novel tersebut akan laris terjual atau best seller. Justru kemungkinan besar akan dirazia para ekstremis itu. Ah, untunglah aku hanya butiran debu!