Gengsilah aku, aku kan sarjana! batinnya sambil senyum sinis jika ditanya orang kenapa menganggur.
"Di Jakarta, kalau kau terlalu gengsi, bisa mati kelaparan kau!" semprot Bang Tohang dengan rokok yang tak pernah lepas dari bibirnya yang legam.
Pelayan lapo tuak yang montok dengan dada melimpah menyodorkan dua botol bir dan sepiring daging goreng kemerahan. Uapnya panas mengepul. Dalam hitungan Hasrul, ini botol bir kedua buat Bang Tohang.
Bang Tohang sigap berdiri, menyambar sepotong daging. Mulutnya berdecap-decap kepanasan. Dua ekor anjing buduk berlarian di sekitar lapo tuak di belakang terminal itu. Barangkali keduanya kelak akan berwujud seperti rekan mereka yang kini dikremus dengan lahap.
"Tapi aku kan sarjana, Bang. Teknik sipil lagi!"
"Heh?! Makan saja ijazah kau itu. Kau sarjana lulusan daerah saja belagu. Di sini ribuan yang lebih dari kau. Tapi menganggur juga mereka. Nah, apalagi kau!" Matanya yang merah saga mendelik. Ia tenggak lagi birnya.
Seraya duduk kembali di kursi, Bang Tohang yang setengah mabuk mengambil dengan susah payah sesuatu dari saku celana panjangnya yang bolong-bolong terpantik api rokok. Perutnya yang gendut menghalangi gerakannya.
Hasrul menatapnya kagum.
"Bang, aku hamil. Apa kata orang kampung nanti. Gadis hamil tanpa suami!" isaknya di suatu malam Minggu. Sial!
 Ingatan Hasrul melompat lagi kepada kekasihnya yang hamil dan menolak aborsi.
"Bukan ijazah yang kasih kita makan, Rul. Ini dia tuhan kita. Duit!" Puluhan lembar ratusan ribu diangsurkan Bang Tohang ke wajah Hasrul. Menyadarkan Hasrul kembali.