Ia terdiam. Mencari-cari stok mi di lemari kecilnya. Denting piring dipukul tukang sekoteng menandakan larutnya malam.
Ucok mengacungkan sepotong mi yang terlepas dari bungkusnya.
"Mas tahu tidak? Ada cinta dalam sepotong mi ini. Cinta yang menyatakan keberadaanku. Betapa aku mencintai mi ini karena aku cinta hidup. Seorang pejabat mengkorupsi uang negara karena terlalu mencintai harta," ujar Ucok.
"Cinta itu ibarat energi yang tak pernah musnah. Ia hanya pindah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Cinta selalu memancar di mana ia berada. Aku berwudhu karena aku cinta Allah maka di wajahku yang kubasuh terpancar rasa cintaku kepada Allah. Lae suka sepak bola bahkan sangat mencintainya. Maka kecintaan tersebut akan terpancar. Semua aktivitas manusia didasari cinta. Yang membedakan adalah bagaimana bentuk cintanya dan seberapa besar takarannya," lanjutnya berwibawa.
Aku terdiam, merenung.
Ucok menjerang sepotong mi tersebut. Dipecahkannya telur ayam dan dicampurkannya bumbu. Begitu bersemangat ia. Rupanya ia begitu mencintai pekerjaannya dengan ikhlas sehingga terpancar rasa cintanya itu.
Aku lihat diriku. Mungkin aku memang tidak mencintai kuliahku. Tidak ada rasa keterikatan yang ikhlas, yang ada hanya keterpaksaan. Tak ada rasa rindu, yang ada hanya rasa benci.
Aku memaki penyanyi lawas yang menyenandungkan tembang benci tapi rindu. Bohong besar. Kedua perasaan itu tidak mungkin bersatu. Itu adalah kamuflase rasa rindu yang mendua.
Ucok menyantap sepotong mi yang dimasaknya. Aku memandanginya. Angin malam bertiup semilir seiring desah napasku.
Terkadang kita lebih bisa disadarkan oleh wong cilik yang berkata tulus sepenuh hati daripada omongan pejabat yang besar mulut tanpa aksi.
Sayangnya hak bersuara wong cilik seperti Ucok ini terpinggirkan dan terkekang. Suara mereka hanya diburu saat pemilu lima tahunan.