Lha wong perahu karet saja yang melintasi jalur itu saat puncak banjir, ketika Masjid terendam hebat dan hanya tinggal atap dan kubah yang masih terlihat, harus bermanuver berkali-kali menghindari hempasan arus yang kencang.
Tak ayal kami menjadikan patokan tingginya air di sekitar Masjid sebagai indikator keganasan banjir. Terutama sebagai ukuran kapan harus mulai mengangkuti barang keluar rumah atau kembali ke rumah pasca-banjir.
Siang itu, di tengah gerimis hujan dan volume air yang kian bertambah dari arah bantaran kali, kami cukup kaget juga ketika ada kabar bahwa air di depan Masjid sudah seleher orang dewasa. Padahal saat itu masih banyak barang dan kendaraan yang belum sempat dievakuasi.
"Udah seleher, Bang?" tanyaku pada salah seorang tetangga.Â
Aku saat itu sudah menyandang dua tas berat dan besar berisi sedikit baju dan terutama surat-surat berharga serta dokumen penting.
"Iye, katenye," jawab tetanggaku yang ikut bingung. "Padahal kan biasenye kalo banjir baru segini palingan seperut. Wah, gawat nih!"
Suasana agak panik. Untunglah ada yang berinisiatif bertanya,"Siapa sih yang bilang?"
"Bang Anja," jawab seorang tetangga yang lain. "Die barusan dari deket Masjid."
Sejenak diam. Namun kemudian tawa meledak.
"Huh?! Kirain seleher siape!" seru salah seorang dengan senyum geli.
"Orang kate juga ape!" timpal yang lain. Sebuah plesetan khas Betawi yang menambah derai tawa yang kian riuh.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!