Dan dilabelkan pada keningnya stempel "egois"?
Memahami bukanlah masalah gender atau jenis kelamin
"....Mama sangat menghendaki anak perempuan tatkala saya masih di kandungan....Tidak heran bila Mama selalu membelikan saya pakaian berwarna lembut yang lebih pantas untuk anak perempuan. Sebenarnya saya ingin memberontak, tetapi khawatir Mama akan bertindak lebih nekat," ujar seorang lelaki malang dalam Lelaki Yang Menangis (Akar Media, 2007).
"Nggak tahu terima kasih ya kamu," Mama melotot saat saya menunjukkan wajah tak senang pada T-shirt merah muda yang diberikannya. "Harganya mahal, tahu? Kalau kamu nggak mau, Mama kasih baju yang gambarnya bunga-bunga."
Itulah salah satu kisah nyata seorang lelaki yang mengalami kekerasan secara psikologis oleh perempuan yang merupakan ibunya sendiri.Â
Kumpulan kisah nyata mengenai kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap laki-laki yang disusun oleh Rini Nurul Badariah (penulis dan penerjemah yang berdomisili di Kota Bandung, Jawa Barat) ini mengurai fakta bahwa perempuan juga manusia. Ia punya potensi berbuat baik sehingga derajatnya terangkat mulia sekaligus berpotensi berbuat buruk hingga terpuruk setara dengan binatang.
Sistem patriarki, yang antitesisnya adalah emansipasi perempuan, mungkin menguntungkan kaum lelaki. Namun ada paradoks di dalamnya.Â
Persepsi bahwa kaum lelaki adalah makhluk yang superior menisbikan bahkan menihilkan realitas bahwa perempuan juga dapat berlaku sebagai penindas atau penganiaya baik secara fisik, mental atau psikologis.Â
Toh, perempuan juga manusia. To err is human, manusia itu tempatnya berbuat salah.
Sejatinya, "memahami" bukanlah masalah gender dan juga bukan dominasi gender tertentu. Ia adalah masalah kemanusiaan dan peradaban.