Karena keberagaman sebenarnya bukan pagar pembatas, ia lebih merupakan jembatan penghubung.
Sama seperti kita mempersepsi lautan di antara banyak kepulauan Indonesia yang selayaknya tidak disebut sebagai pembatas tapi sebuah jembatan penghubung di antara banyak pulau.
Kemalasan kita untuk menaklukkannya saja yang membuat kita berprinsip seperti serigala yang gagal menjangkau buah anggur dalam dongeng The Sour Grape.
Ya, kita menyebut anggur yang manis itu sebagai masam rasanya hanya karena kita tak mampu menjangkaunya.
Tidak adanya perseteruan terbuka bukan pertanda adanya kedamaian, ulas Mahathir Mohammad dalam Malay Dilemma, salah satu bukunya yang populer di era 70-an.
Bisa jadi konflik yang sebenarnya hanya terpendam dan menunggu hulu ledaknya terpantik. Inilah yang kita pernah alami di Maluku, Poso, atau Sambas atau Sampang. Ini sekadar menyebut beberapa daerah yang ditimpa konflik etnis yang berjalin dengan ideologi dan politik.
Memang damai itu indah, seperti slogan yang pernah dipopulerkan kalangan TNI di awal Reformasi '98.
Tetapi rasanya lebih indah jika kedamaian itu tercipta karena keadilan. Kedamaian yang bersumber dari keadilan niscaya lebih langgeng ketimbang kedamaian yang hanya sekedar bersifat kosmetika. Hanya pemanis. Ia luntur bila bedak basa-basi terguyur realitas hidup yang keras.
"Panggillah saudaramu dengan panggilan yang disukainya," demikian pesan Al-Qur'an. Itulah sebuah pesan universal.
Kadang entah bercanda atau tidak kita kerap menjuluki rekan berbeda etnis dengan sebutan sukunya. Misalnya, Si Padang, Si Jawa Koek, dan sebutan pejoratif lainnya.
Yang substansial adalah sejauh mana kita mendefinisikan "saudara" dan "orang asing" dalam kehidupan kita.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!