Tak hanya itu, pemuda asli Belitong yang alumnus S-2 Prancis ini juga melengkapinya dengan tiga novel lain yakni Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov, yang secara keseluruhan merupakan Tetralogi Laskar Pelangi.Â
Di sisi lain, Habiburrahman yang santri Al-Azhar Kairo kelahiran Semarang juga membawa gerbong Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2, Pudarnya Cinta Cleopatra, Di Bawah Mihrab Cinta dan beberapa karya best-seller lainnya yang juga bernafaskan religi romantis.
Namun tidak ada karya manusia sesempurna kitab suci.Â
Banyak kritik yang datang untuk kedua karya tersebut.Â
Mulai dari tudingan mengeksploitasi cinta atau poligami, seperti yang terkesan ditonjolkan dalam film Ayat-Ayat Cinta, hingga cibiran untuk Laskar Pelangi bahwa keberhasilannya semata-mata karena trik pemasaran yang canggih.Â
Kita pun mafhum bahwa keduanya bukanlah kitab suci yang agung dan tanpa cela. Namun kritik yang tidak proporsional juga ibarat racun yang dapat melemahkan si orang sehat.
Dalam hal ini berlaku kebenaran pepatah "makin tinggi pohon makin kencang angin menerpa". Inilah keniscayaan hukum alam yang diguratkan Tuhan.Â
Karya sastra sekaliber roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck-nya Buya Hamka atau Belenggu gubahan Armin Pane pada zamannya juga dicap picisan, cabul dan cengeng. Tetapi perjalanan waktulah yang menggosok intan agar cemerlang cahaya yang memancar.
Terlepas dari segala kontroversi yang ada, dengan arif, layak kita bertanya mengapa kedua novel karya dua penulis usia 30-an tersebut di kala itu mampu mengharubiru jagad sastra sekaligus merambah ranah populer publik negeri ini?
Sekian banyak orang bersaksi bahwa Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi mengubah hidup mereka lebih tenang, hidup dan berkarya lebih baik.Â
Telah banyak karya-karya besar yang membawa perubahan di dunia.