Nah, alhasil cukuplah beralasan ketika saya dipanggil bekerja di biro penerjemahan B Trans, saya memutuskan hengkang mengajar. It's all about money!
Namun ketika tiga tahun kemudian saya memutuskan mengundurkan diri dari biro tersebut, ternyata bukan uang lagi yang menjadi persoalan.Â
Sebagai bujangan sederhana yang tidak bergaya hidup mewah, jumlah pendapatan yang saya terima saat itu sudah lumayan memadai. Meskipun, jujur, saat itu saya tidak punya tabungan banyak. Pola hidup saya yang boros saat itu tak sudi menyisakan banyak rupiah di rekening bank saya.
Lalu kenapa keluar?
Itu pertanyaan yang juga ditanyakan banyak orang terdekat saya saat itu.Â
Karena selepas mengundurkan diri dari biro penerjemahan itu, pada 2005, saya justru memilih pindah ke sebuah griya produksi (production house) sinetron yang hanya memberi saya gaji Rp1,2 juta sebulan (bersih) sebagai penerjemah naskah skenario shift malam hari.Â
Jawaban atas pertanyaan itu juga merupakan jawaban yang sama untuk pertanyaan kenapa saya hanya bertahan kurang dari satu semester di griya produksi sinetron ternama tersebut.
Saat gajian di bulan terakhir di biro penerjemahan tersebut, saya berkata sambil menyerahkan amplop gaji saya, "Nih gajimu, Lam. Udah enak tuh. Memangnya kamu kurang apa sih di sini?!"
Seminggu sebelumnya, karena gaji terlambat dua pekan dari jadwal semestinya, saya memang menghadap sang bos dan menyampaikan protes keras. Karena itu kejadian kedua kalinya dalam setahun terakhir.
Bos saya rupanya lupa bahwa manusia tidak sekadar butuh nasi atau roti. Ia juga butuh apresiasi. Dan bekerja tidaklah selalu soal uang atau finansial.
Darah muda saya menggelegak.Â