Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dilema Memilih Jodoh dan Karier

4 Februari 2021   04:53 Diperbarui: 4 Februari 2021   05:02 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kutipan bernas dari Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia: "Kadang manusia dihadapkan pada sebuah pilihan dalam hidupnya. Jika tidak memilih saat itu ia tidak mendapat apa-apa." 

Kurang lebih seperti itu bunyinya. 

Ya, memilih! 

Buat seorang peragu tentu alangkah beratnya. Buat seorang sembrono atau slebor sama juga sulitnya. Yang berbeda adalah reaksi mereka. 

Si peragu akan tercenung lama dan kadang menyebalkan banyak orang karena banyaknya waktu untuk memikirkan pilihan yang akan diambil. Si sembrono justru akan tergesa-gesa mengambil pilihan tanpa masak-masak dipikir. Untuk kemudian menyesal. Si peragu juga kerap menyesal karena ia kehilangan momentum. Bukankah segala sesuatu itu indah pada masanya?

"Udah enak-enak kerja kantoran kok keluar sih?"

"Ih, sudah ditawarin akhwat yang pernah jadi cover girl majalah malah nolak. Kenapa sih?!"

"Kan enak jadi wartawan infotainment, bisa ketemu artis. Soal nurani mah dikesampingkan dulu!"

Itu sederet reaksi atas pilihan-pilihanku dulu dalam hal karier dan jodoh.

Yang pertama, 2005, ketika memutuskan keluar dari jabatan sebagai penerjemah skenario sinetron pada sebuah griya produksi (production house) besar di Jakarta. Mereka saat itu populer sebagai produsen sinetron-sinetron penjual mimpi papan atas. 

Bukan sok idealis, tapi semata-mata aku merasa tidak dihargai. Jiwaku bukan di situ. Lantas terjunlah aku di dunia penerjemahan dokumen hukum hingga kini. Meskipun sempat masuk lagi ke dunia sinetron sebagai penulis skenario sinetron komedi (situation comedy) pada 2007, untuk kemudian mantap meninggalkannya. 

Yang kedua, ini sebetulnya lebih karena minder, ketika seorang kawan menyodorkan pilihan jodoh lewat jalur ta'aruf. Seorang gadis yatim piatu dari keluarga mapan, keturunan Arab. Lulusan ITB (Institut Teknologi Bandung). Lebih muda dua tahun saja. Kabarnya ia juga mantan gadis sampul (cover girl) sebuah majalah wanita.

Hmm..kenapa ditolak? 

Entahlah, aku hanya mengikuti alarm intuisiku saja. 

Minder? Bisa jadi. 

Lagipula aku tidak merasakan ada chemistry yang sama.

Sebagian temanku menertawaiku. "Ah, mau nikah aja repot banget!" ledek mereka. 

Trauma? Mungkin juga. 

Dulu kakekku, ayah dari bapakku, menikah dengan gadis keturunan Arab. Tapi karena perbedaan status sosial dan status ekonomi, mereka dipaksa bercerai dan meninggalkan seorang anak tunggal, yakni ayahku. 

Setelah itu Nek Masenun (sebutanku untuk sang nenek yang tak pernah kulihat fotonya itu) dinikahkan dengan seorang yang "sekufu", setara derajatnya, setidaknya menurut anggapan ayah Nek Masenun. 

Pilihan sang ayah adalah seorang saudagar kaya dari Arab Saudi. Namun pernikahan itu tidak lama, tidak berbuah anak jua. Demikian terus berulang hingga konon Nek Masenun menikah hingga tujuh kali sepanjang hidupnya, dan hanya mendapat dua anak (termasuk ayahku) dari seluruh perkawinan tersebut.

Saat itu, di era Jakarta 1900-an, stereotipe soal etnis Arab yang sangat eksklusif masih sangat kental. Nahasnya, kakekku hidup pada zaman itu. Ia hanya penarik perahu tambang alias perahu eretan di Kali Ciliwung. Konon, menurut cerita almarhum ayahku, kakek orangnya tampan dan gagah.

Yang ketiga, pada 2003, ketika aku harus berkali-kali sholat istikhoroh ketika dihadapkan pilihan antara bekerja di sebuah biro penerjemahan tersumpah (sworn translator) dengan gaji all-in Rp800 ribu per bulan atau sebagai wartawan acara infotainment dengan gaji di atas Rp 1 juta plus bonus lain. Termasuk peluang ketemu artis-artis, demikian salah satu iming-iming sang produser yang mewawancaraiku. Belum lagi peluang gaji naik secara berkala. 

Mereka saat itu memang butuh banyak wartawan untuk sebuah program infotainment baru di sebuah TV swasta. Dengan portofolioku sebagai jurnalis lepas di sebuah media daring dan majalah kampus dengan kemampuan dan pengalaman menulis yang panjang, hal itu bukan kendala sebetulnya. 

Yang lebih menjadi kendala adalah hati nurani. Persetan dengan sang aktor metroseksual yang menjadi pemilik griya produksi itu! 

Aku hanya ragu apakah kelak aku akan dicatat di sisi Allah SWT sebagai penyebar gosip atau sumber gunjingan orang?

Mungkin naif. Mungkin tidak strategis, sekadar meminjam istilah seorang rekan sesama aktivis pergerakan mahasiswa. Tapi, entahlah, aku hanya merasa tidak sreg. 

Soal hidup kekurangan, itu toh biasa. "Yang penting tidak miskin di akhirat," demikian pesan kedua mendiang orang tuaku.

Menyesalkah aku?

Memang ada beberapa pilihan dalam hidupku yang sempat membuatku tidak tidur untuk menyesalinya. Meski aku insyaf bahwa hidup harus terus berjalan, dan harus terus memilih. 

Toh, hidup adalah kumpulan pilihan-pilihan. Aku juga telah memilih. Yang penting adalah menentukan pilihan. Soal konsekuensi itulah risiko yang harus dihadapi. Yang berbahaya adalah memilih untuk diam saja, tidak memilih. Yang penting tetap berusaha.

"Kucoba-coba melempar manggis. Manggis kulempar mangga kudapat. Kucoba melamar gadis. Gadis kulamar janda kudapat." (syair lagu Cucakrowo).

Hikmahnya?

Setidaknya sang biduan telah berusaha menentukan pilihan kendati kemudian kecele. 

Tidak seperti seorang kawanku, seorang formator alias penata setting dokumen terjemahan freelance yang selalu saja berkeluh kesah dan berandai-andai atas pilihan hidup yang dulu tidak dipilihnya.

"Dulu gue sebenarnya bisa ke Jerman, beasiswa kerja. Eh, gue keluar. Sayang ya!"

"Itu sih kecil. Gue dulu bisa dapat gaji sekian. Gue aje yang kelewat sensitif sama sindiran boss. Gue resign. Nyesel gue!"

Aku tersenyum masam setiap kali ia curhat via telepon. Topiknya selalu sama: Penyesalan. 

Jika dibuat serial sinetron alangkah panjangnya! 

Tapi cukupkah sekadar menyesal untuk tetap bertahan hidup? Namun ia memilih jalan itu. 

Di usianya yang menjelang 40 saat itu, melajang dan masih meminta uang pada orang tua, ia kerap datang memelas dan bertanya,"Ada orderan gak buat gue, Lam?" 

Padahal aku ingat betul ia pernah ditawari mendirikan bisnis penerjemahan. Modal dan fasilitas ditanggung sang cukong. Ia hanya tinggal menjalankan. Sayang di matanya hanya ada sisi gelap hidup."Dia kan Cina. Entar gue ditipu lagi!"

Ah, kita memang harus memilih.

Jakarta, 2007-2021

Baca Juga: https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/60186f39d541df55fb3408b2/kepada-yth-kata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun