Hikmahnya?
Setidaknya sang biduan telah berusaha menentukan pilihan kendati kemudian kecele.Â
Tidak seperti seorang kawanku, seorang formator alias penata setting dokumen terjemahan freelance yang selalu saja berkeluh kesah dan berandai-andai atas pilihan hidup yang dulu tidak dipilihnya.
"Dulu gue sebenarnya bisa ke Jerman, beasiswa kerja. Eh, gue keluar. Sayang ya!"
"Itu sih kecil. Gue dulu bisa dapat gaji sekian. Gue aje yang kelewat sensitif sama sindiran boss. Gue resign. Nyesel gue!"
Aku tersenyum masam setiap kali ia curhat via telepon. Topiknya selalu sama: Penyesalan.Â
Jika dibuat serial sinetron alangkah panjangnya!Â
Tapi cukupkah sekadar menyesal untuk tetap bertahan hidup? Namun ia memilih jalan itu.Â
Di usianya yang menjelang 40 saat itu, melajang dan masih meminta uang pada orang tua, ia kerap datang memelas dan bertanya,"Ada orderan gak buat gue, Lam?"Â
Padahal aku ingat betul ia pernah ditawari mendirikan bisnis penerjemahan. Modal dan fasilitas ditanggung sang cukong. Ia hanya tinggal menjalankan. Sayang di matanya hanya ada sisi gelap hidup."Dia kan Cina. Entar gue ditipu lagi!"
Ah, kita memang harus memilih.